Kamis, 25 Desember 2008

Aerial bombardment of peasants in Sumatran village

Press releases by Watch Indonesia! and WALHI (Friends of the Earth
Indonesia)


Aerial bombardment of peasants in Sumatran village

Berlin, 23rd December 2008:

On Thursday, 18th December, hundreds of police and paramilitaries
attacked the Sumatran village Suluk Bongkal in Riau Province with tear
gas and guns. A helicopter dropped incendiary devices on the village,
with eye witnesses alleging that napalm was used. Hundreds of houses
immediately went up in flames. Two young children were killed and many
people were injured. Most of the villagers have fled into the forest.
Others have been arrested. Two days later, a helicopter flew at low
height over the tents of homeless villagers and bombarded them with stones.

The news sounded so unbelievable that Watch Indonesia! was initially
hesitant to disseminate them, however the information has now been
confirmed, except that the type of bombs dropped still has to be
verified. The environmental organisation WALHI (Friends of the Earth
Indonesia) has identified the attack on poor villagers as the result of
struggles over raw materials and land, which are so common in Indonesia.
In this case, the conflict was over paper and in particular a pulp and
paper plantation by PT Arara Abadi, a subsidiary of Asia Pulp and Paper
(APP) which, in turn is a subsidiary of the Indonesian company Sinar
Mas. PT Arara Abadi/APP used the police and hired paramilitaries in
order to evict villagers with pure force. The Indonesian Human Rights
Commission has now taken on the case.

Watch Indonesia! protests against the attack on Suluk Bongkal and the
extremely brutal violence against the civilian population. We demand an
immediate investigation of this new human rights abuse, compensation for
the local population and a guarantee of their safety and rights, as well
as punishment of those responsible for the violence. We demand that
European governments and companies examine their links to companies such
as Sinar Mas which are responsible for human rights abuses. Europe’s
excessive consumption bears some of the responsibility for the growing
use of violence in land conflicts over paper, palm oil, gold and other
raw materials. Sumatra is not the only place where people are being
violently evicted for mass production of paper.

Contact: Marianne Klute, watchindonesia@snafu.de, klute@snafu.de

Rabu, 12 November 2008

Terkait pemeriksaan Ketua PN Dumai

Riau Mandiri, Sabtu ,06 Oktober 2007,
PH Tiensu Minta MA Transparan
DUMAI–Saut Irianto Rajagukguk,SH dari law firm Saut Raja & Partners Penasehat Hukum Tiensu terdakwa penggelapan 450 ton CPO milik PT Duta Palma Nusantara (DPN), meminta agar tim Mahkamah Agung yang melakukan pemeriksaan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Dumai Ali Rustam, terkait indikasi mafia peradilan untuk mengekspos hasil pemeriksaan mereka secara transparan ke publik.

Hal ini menurut Saut yang dihubungi Jumat (5/10) karena persoalan tersebut sudah menjadi perhatian masyarakat luas. ”Publik berhak mengetahui hasil pemeriksaan tersebut, apakah benar terjadi mafia peradilan atau tidak sebagaimana yang kita laporkan ke MA," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, atas laporan PH terdakwa Tiensu, tim MA yang dipimpin Hakim Tinggi Inspektur Pengawasan Hirman P dengan tiga anggota diantaranya Kepala bagian penindakan dan pengawasan hakim, Sentot dan staf Wahyu SH Jumat (21/9) lalu melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang mengadili perkara Tiensu tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti hasil pemeriksaan tersebut.(fai)


Saksi Meringankan tak Datang Sidang Dilanjutkan.

Riau Mandiri, Sabtu ,06 Oktober 2007
DUMAI-Sidang dugaan penggelapan CPO sebanyak 450 ton milik PT Duta palma dengan terdakwa Suryadi alias Tiensu Direktur Utama PT Alam Tirta Sari (ATR) Jumat (5/10) kemarin kembali digelar. Saksi meringankan yang dijadwalkan memberi keterangan ternyata tidak hadir, akhirnya majelis hakim menganggap selesai, dan memutuskan untuk melanjutkan persidangan Senin (8/10) mendatang untuk mendengarkan tuntutan dari JPU.

Untuk diketahui, majelis hakim yang diketuai oleh Ali Rustam telah memberikan kesempatan kepada terdakwa dan Penasehat hukumnya Saut Irianto Raja Gukguk untuk menghadirkan saksi meringankan untuk di dengar kesaksiannya di Persidangan yang dijadwalkan sejak Senin (1/10) lalu. Namun hingga saat itu hingga Jumat (8/10) hanya satu orang saksi meringankan yang hadir, padahal sudah dua kali pengunduran sidang.

Meski demikian, PH terdakwa ternyata belum puas atas kesempatan yang diberikan tersebut, dan menyatakan kecewa atas kebijakan majelis hakim yang menganggap pemeriksaan saksi meringankan selesai, dan melanjutkannya dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU. Saut Irianto Raja Gukguk langsung menyatakan protesnya atas kebijakan majelis hakim tersebut di persidangan. "Kemarin kita sudah minta waktu hingga Senin mendatang. Tapi majelis tetap memaksa dan menjadwalkan hari ini. Padahal ini bukan pekerjaan mudah dan kita hanya diberikan waktu selama dua hari terhitung sidang, Rabu (3/10) lalu. Kita melihat majelis telah arogan dan merampas hak terdakwa," ujarnya.

Sementara JPU yang sebelumnya meminta pengunduran jadwal sidnag hingga Selasa (9/10) untuk membacakan tuntutannya, menyatakan dapat menerima penetapan majelis hakim yang akan melanjutkan persidangan Senin (8/10) mendatang. Sementara informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa digesanya persidangan ini karena majelis ingin menetapkan vonis sebelum libur lebaran nanti. Hal ini diprediksi terkait dengan habisnya masa penahanan terdakwa pada tanggal 21 Oktober mendatang.

Setelah tuntutan Senin (8/10), majelis akan mengagendakan sidang pledoi pada, Rabu (10/10) dan besoknya, Kamis (11/10) langsung penetapan vonis. Jadi sebelum cuti bersama pada tanggal 12 nanti, terdakwa sudah di vonis.(fai)


CPO di Tangki Timbun tak Pernah Dicek Fisik

Riau Mandiri, Kamis ,04 Oktober 2007
Saksi Meringankan Paparkan Bisnis Tiensu
DUMAI-Sidang dugaan penggelapan 450 ton CPO PT Duta Palma Nusantara dengan terdakwa Suryadi alias Tiensu kembali digelar, Rabu (3/10) kemarin. Pada kesempatan ini, terdakwa melalui Penasehat Hukumnya menghadirkan saksi a de charge (yang meringankan) bernama Henpik (37) yang merupakan mantan karyawan terdakwa bidang administrasi.

Dihadapan majelis hakim yang diketuai Ali Rustam, serta Jaksa Penuntut Umum (JPU), Henpik yang mengaku sudah sebelas tahun bergabung di ATS, dan mengundurkan diri terhitung mulai Agustus 2007 lalu karena membuka usaha sendiri, menyebutkan bahwa kecil kemungkinan terdakwa melakukan penggelapan CPO sebagaimana yang dituduhkan. Sebab transaksi jual beli selama ini jelas dan diperkuat dengan bukti administrasi milik ATS maupun PT Dumai Balking selaku perusahaan jasa timbun CPO.

"Sumber minyak yang kita titip timbun di PT Dumai Balking berdasarkan kontrak jual beli dengan Haryono yang juga traider CPO. Setiap minyak yang dimasukkan Haryono ke tangki timbun dilaporkan Dumai Balking kepada ATS. Berdasarkan laporan itu, ATS melakukan pembayaran kepada Haryono selaku penjual," jelas mantan staff pembukuan ATS ini. Selama bekerja di PT ATS, sepengetahuan Henpik, terdakwa tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan atau memerintahkan karyawan untuk melakukan kecurangan. "Jadi kemungkinannya sangat kecil sekali," tegasnya.

Menjawab pertanyaan JPU apakah setiap barang yang masuk ke tangki timbun Dumai Balking dilakukan cek fisik, Henpik mengatakan bahwa hal itu tidak pernah dilakukan. Sebab yang diperiksa hanya kuantiti barang dan tidak pernah asalnya. Selain itu selama ini tidak ada persoalan hingga sampai pada masalah hukum. Apalagi Dumai Balking selalu memberikan laporan ke ATS begitu CPO yang dikirim penjual masuk ke tangki timbun. "Kita tidak hanya di Dumai Balking saja. CPO milik ATS juga ada yang dititip pada tangki timbun PT SAN di Dumai, juga ada di Lampung dan daerah lainnya. Seluruh prosedur dan mekanismenya sama, tapi tidak ada yang bermasalah seperti di Dumai Balking," terang Henpik sambil menyebut sumber CPO PT ATS bisa dari penjual perorangan maupun perusahaan serta PKS yang ada di Medan, Jambi, Kalimantan, Palembang dan Irianjaya.

Pada kesempatan tersebut, Henpik juga mengatakan memaparkan bentuk usaha perdagangan CPO serta bisnis lainnya yang digeluti terdakwa. Diantaranya sebagai distributor sepeda motor, usaha real estate dan pembangunan mall Lampung City Square yang dalam tahap pengerjaan. Selain itu terdakwa juga memiliki tangki timbun CPO di Batu Ceper Tangerang dengan kapasitas 8 ribu ton serta gudang penampungan ribuan ton TBS seluas 3.600 m di Lampung.

"Pak sur (panggilan terdakwa,red) adalah pengusaha besar yang memiliki banyak job bisnis. Selain sebagai traider (pengusaha) CPO, beliau juga memproduksi produk turunannya. Beliau juga punya usaha tepung onggok (ampas pengolahan tapioka) untuk diolah menjadi tepung. Jadi usaha yang beliau geluti bukan hanya CPO saja," jelas Henpik menjawab pertanyaan PH terdakwa.

Setelah mendengarkan keterangan saksi a de charge, majelis hakim menunda sidang hingga, Jum'at (5/10) mendatang.(fai)

Sidang dugaan penggelapan CPO Saksi Meringankan

Riau Mandiri, Selasa ,02 Oktober 2007
Hadir, Tiensu Serahkan Bukti Pembelian
DUMAI-Sidang perkara kasus penggelapan 450 ton CPO milik PT Duta Palma Nusantara dengan terdakwa Suryadi alias Tiensu kembali digelar, Senin (1/10) kemarin dengan agenda mendengarkan keterangan saksi meringankan. Namun dari tiga orang saksi meringankan yang dijadwalkan hadir, tidak satupun yang hadir.

"Kita sudah upayakan untuk menghadirkan saksi yang meringankan, tapi mereka berhalangan. Konfirmasi terakhir, hanya satu yang sudah memastikan untuk hadir pada sidang Rabu mendatang. Kami minta agar majelis memberikan waktu hingga Senin (8/10) mendatang," ujar Saut penasehat hukum terdakwa.

Terkait hal ini, hakim ketua Ali Rustam meminta PH terdakwa agar berupaya menghadirkan saksi meringankan pada sidang Rabu mendatang. "Upayakan dulu, kita minta sidang Rabu nanti sudah hadir semua saksi yang meringankan," ujar Ali Rustam.

Sebelum sidang sidang dinyatakanditunda hingga Rabu (3/10) mendatang, terdakwa didampingi penasehat hukumnya Saut Raja Irianto kepada majelis hakim dan JPU menjelaskan seluruh dokumen mulai bukti pembelian, pengiriman barang, tanda terima dari PT Dumai Balking serta posisi stok CPO terakhir milik PT Alam Tirta Sari (ATS) yang berada di tangki timbun PT Dumai Balking.

Dalam dokumen yang diserahkan itu disebutkan bahwa PT ATS melakukan transaksi jual beli 50 ton CPO dengan Haryono pada tanggal 25 Februari 2005 dan dibuktikan dengan tanda terima laporan harian dari Dumai Balking kepada ATS serta laporan posisi stok pada tanggal 26 Februari 2005. Hal yang sama juga berlaku untuk pembelian 150 ton CPO pada tanggal 28 Februari 2005 dengan tanda terima dari Dumai Balking pada tanggal 1 Maret 2005, pembelian 209,360 ton CPO pada tanggal 1 Maret 2005 dan 13,950 ton pada tanggal 9 Maret 2005 dengan tanda terima dari Dumai Balking pada tanggal 2 Maret dan 9 Maret 2005.

Dari tiga kali kontrak pembelian yang dilakukan dengan Haryono dan dikirimkan ke PT Dumai Balking tersebut, total CPO milik PT ATS yang berada di tangki timbun berdasarkan laporan harian PT Dumai Balking dan posisi stok terakhir adalah sebanyak 424,440 ton. "Berdasarkan laporan harian Dumai Balking itu kita melakukan pembayaran kepada Haryono melalaui Robin pada tanggal 14 Maret 2005 sebesar 1.479.173.400 rupiah. Tagihan itu dibayarkan melalui rekening Hengki di bank Danamon cab Medan dengan no rekening 31381262," jelas Tiensu.

Selanjutnya kembali dilakukan transaksi jual beli dengan Haryono sebanyak 50 ton pada tanggal 2 April 2005 dan berdasarkan laporan harian tanda terima dari PT Dumai Balking dilakukan pembayaran sebesar 180.775.000 kepada pihak penjual. Kemudian pada tanggal 25 April 2005 kembali dilakukan pembelian 50 ton CPO dan diterima Dumai Balking pada tanggal 26 April 2005. Berdasar tanda terima barang yang dikirimkan Dumai Balking kepada ATS, maka dilakukan pembayaran kepada penjual sebesar 190.032.000 pada tanggal 28 April 2005.

Sementara proses pengapalan dilakukan pada tanggal 3 Maret 2005 sebanyak 1000 ton dengan kapal MT Star Orion. Kemudian 2 April 2005 sebanyak 500 ton melalui MT Weelek 7 dan terakhir sebanyak 450 ton dengan kapal Global Venus pada tanggal 27 April 2005. " Saat itu sisa stok tinggal 5.616 kg di tangki timbun Dumai Balking.Dengan kondisi masih ada sisa stok barang ini kita malah dituduh melakukan penggelapan CPO. Tuduhan ini mereka lemparkan setelah masalah sampai ke tangan polisi," papar Tiensu.

Dalam kondisi tersebut, CPO ATS kembali masuk ke Dumai Balking sebanyak 75 ton dan di bayar kepada penjual berdasar laporan harian Dumai Balking kepada PT ATS sebesar 255.612.000 pada tanggal 23 Mei 2005." Jadi sampai saat ini stok CPO PT ATS masih ada ditangki timbun Dumai Balking sebanyak 80 ton dan kita terus membayar sewa tangki timbun kepada Dumai Balking. Terakhir Dumai Balking masih menagih jasa timbun kepada ATS pada tanggal 3 April 2006 lalu sebesar 1.868.500 rupiah. Sisa stok ini juga dikuatkan oleh akuntan publik PT Dumai Balking yakni Arianto Amir Yusuf & Mawar yang beralamat di Jakarta. Kita melihat ada rekayasa yang dilakukan oleh PT Duta Palma Nusantara dalam kasus ini," tegas Tiensu.(fai)

Tiensu Bantah Lakukan Penggelapan

Riau Mandiri, Kamis 27 September 2007
DUMAI–Sidang dugaan penggelapan 450 ton CPO milik PT Duta Palma dengan terdakwa Suryadi alias Tiensu, Dirut PT Alam Tirta Sari (ATR) kembali digelar Rabu (26/9) kemarin. Tidak seperti sidang sebelumnya, kali ini terdakwa mengaku tidak sakit lagi dan dapat melanjutkan persidangan. Terdakwa kemudian diberi kesempatan untuk memberikan keterangannya.

Dalam keterangannya dihadapan majelis hakim yang diketuai Ali Rustam ini, terdakwa membantah seluruh dakwaan JPU. Terdakwa juga memaparkan kronologis semenjak awal menggeluti bisnis CPO hingga menjalin kerjasama dengan Dumai balking selaku perusahaan penyedia tangki timbun. Selain itu Tiensu juga menjelaskan sumber CPO yang diperolehnya serta sistem pembelian yang dilakukan hingga proses penjualan lokal maupun ekspor ke luar negeri.

”PT Alam Tirta Sari tidak pernah melakukan penggelapan CPO. Seluruh CPO itu kita beli dari traider dengan sistem broker fee dan selanjutnya dititipkan di tangki timbun milik Dumai Balking. Selain itu kita juga sering menjadi pemenang dalam tender CPO. Dalam proses pembelian hingga penitipan dan memuat ke kapal, itu dilengkapi dengan administrasi yang jelas. Sekarang saya dituduh melakukan penggelapan,” jelas Tiensu.

Lebih lanjut dijelaskannya, bisnis CPO yang digelutinya itu bukan hanya di daerah Riau. Tapi bisnis yang sama juga dilakukannya di sejumlah provinsi lainnya dan berkantor pusat di Jakarta. ”Kita tidak hanya di Riau, tapi juga ada disejumlah propinsi lainnya. Selama ini. CPO yang kita titipkan di Dumai Balking ini langsung diantarkan oleh pihak yang melakukan transaksi jual beli dengan kita. Begitu CPO masuk tangki timbun, pihak Dumai Balking selanjutnya menginformasikan kepada kita tentang masuknya CPO tersebut. Kita melakukan pembayaran kepada penjual berdasarkan laporan dari Dumai Balking, dandi cocokkan dengan tagihan yang diajukan pihak penjual. Jadi antara saya dengan penjual kadang tidak pernah bertemu,” ujar Tiensu menjawab pertanyaan JPU Zulkifli Lubis.

Usai mendengarkan keterangannya, sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan Senin (1/10) mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi adecart (meringankan terdakwa). Usai persidangan, terdakwa kembali dititipkan di Rutan Dumai.(fai)

Sidang Lanjutan Pengelapan 50 Ribu Ton CPO

Riau Mandiri, Kamis ,19 Juli 2007
Dumai-Kasus dugaan penggelapan CPO milik PT Duta Palma (DP), pada tahun 2005 sebanyak 50 ribu ton lebih, yang dilakukan oleh PT Alam Tirta Sari dengan menyeret Direkturnya Suryadi alias Ten Sui, menjalani sidang kedua di Pengadilan Negeri Dumai, Rabu (18/7). Dalam tuntutannya, JPU menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan persekongkolan dengan karyawan Dumai Bulking, sehingga mengakibatkan kerugian PT DP. Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan ini, dipimpin oleh Hakim Ketua T Oyong SH.

Pantauan dari ruang sidang, Jaksa Penuntut Umum, masing-masing Zulkarnaen SH MH dan Isnayanda SH, membacakan tututan secara bergantian. Dalam tunutan tersebut, Suryadi selaku terdakwa, dinyatakan telah melakukan persekongkolan dengan dua pekerja Dumai Bulking, yakni Suwarji dan Hidayat, yang hingga saat ini menghilang. Jaksa Penuntut Umum juga membacakan proses terjadinya dugaan penggelapan CPO tersebut. Diantaranya, terjadi pada 2 Maret 2005, sebanyak 19.990 ton, dengan bukti dikeluarkananya 8 lembar surat penimbangan oleh Suwarji, selaku menejer operasional dan staffnya Hidayat. Kemudian, tanggal 15 Mei 2005, sebanyak 30940 ton, dengan bukti tiga lembar surat penimbangan yang dikeluarkan orang yang sama. Selain itu, sebelum tanggal 1 Maret juga dilakukan hal yang sama. Seterusnya, Jaksa Penuntut Umum juga mengatakan, pada tanggal 25 April 2007 dan 27 April 2007, pihak PT Alam Tirta Sari mengankut semua CPO yang dianggap telah ada dengan menggunakan MV Global Venus, untuk dijual ke India. Akibat hal tersebut, PT Duta Palma merasa dirugikan sebesar Rp1,770 miliar. Setelah pembacaan tuntutan,T Oyong SH menayakan kepada penasehat hukum terdakwa, Saud Iriyanto Rajagukguk apakah akan mengajukan eksepsi. “Kita akan melakukan eksepsi. Untuk itu, kita meminta waktu satu minggu, buat mempersiapkan segala sesuatunya," balas Saud Iriyanto Rajagukguk. Tidak Pernah Kenal Usai sidang, Riau Madiri sempat melakukan konfirmasi dengan penasehat hukum terdakwa Saud Iriyanto Sirajaguguk. Saud mengatakan, pada intinya, tuntutan jaksa itu tidak beralasan. Pasalnya, Suryadi tidak pernah melakukan persekongkolan dengan dua orang pekerja di Dumai Bulking yang juga merupakan anak perusahaan PT Duta Palma. Malahan, kliennya, kata Saud justru merasa terjebak dan tertipu. “Jangankan bersekongkol, klien kami saja tidak pernah kenal dengan dua orang pekerja tersebut. Klien kami juga tidak pernah datang ke Kota Dumai, selain saat ini, setelah ditetapkannya kasus ini dalam sidang," ungkapnya. Saud juga menjanjikan akan memberikan eksepsi selengkapnya, pada minggu depan, sesuai penundaan jadwal sidang yang dilakukan majelis hakim. (lan)

Terkait Penggelapan CPO PT Duta Palma

Riau Mandiri, Kamis ,26 Juli 2007
Dumai-Dalam sidang lanjutan kasus pengelapan CPO milik PT Duta Palma yang tejadi di tangki penimbunan PT Dumai Bulking pada tahun 2005 lalu, ketua majelis hakim Ali Rustam, menetapkan tersangka Suryadi Angga Kusuma alias Tien Sui, harus kembali ditahan, untuk mempermudah proses persidangan, Rabu (25/7). Sidang diisi dengan agenda pembacaan eksespsi dari kuasa hukum terdakwa. Menanggapi hal itu, penasehat hukum terdakwa Saud Irianto Sirajaguguk menyatakan, keputusan itu mencerminkan kekuasaan penguasa terhadap hukum, bukan hukum yang berkuasa. Dirinya melihat banyak sponsor yang mendalangi, agar kliennya kembali dipersalahankan atas apa yang tidak menjadi kesalahannya. “Sangat jelas hukum tidak lagi berkuasa, namun penguasa menguasai hukum. Sudah sangat jelas ada sponsor agar klien kami yang jelas-jelas tidak bersalah berusaha dipersalahkan,” ujarnya. Saud menambahkan, dalam eksepsi yang dibacakannya, CPO yang diangkut PT Alam Tirta Sari dari tangki timbun PT Dumai Bulking, adalah CPO yang telah dibeli dari berbagai pihak yang ada di Sumatra. Buktinya berupa surat timbang setiap kendaraan yang mengangkut CPO yang ditimbun di tangki penimbunan milik PT Dumai Bulking yang sebelumnya telah melakukan perjanjian sewa menyewa. Bukti itu dikeluarkan Sumardi, mantan manejer operasional PT Dumai Bulking dan anggotanya Hidayat yang hingga saat ini menghilang. “Dimana penggelapan CPO PT Duta Palma dilakukan oleh perusahaan klien saya. Sebelumnya telah melakukan kesapakatan sewa menyewa tangki penimbunan CPO milik PT ATS. Selain itu, CPO yang diangkut PT ATS merupakan CPO yang selama ini dibeli dari berbagai pihak di Sumatra. Bukti surat timbang dikeluarkan manejer opersional PT Dumai Bulking, selaku tempat penimbunan CPO yang telah disewa PT ATS,” ungkapnya.

Saud juga mengatakan, semua dakwaan Jaksa penuntut Umum dapat dinilai batal demi hukum. Pasalnya, BAP tidak ditandatangani tersangka, lalu berita acara penolakan tanda tangan, tidak dibuat oleh pejabat berwenang. Selain itu, penerapan pasal 55 ayat 1 ke 1 KHUP dan pasal 56 ke 2 KHUP dalam dakwaan subsidair dan dakwaaan lebih subsidair adalah tanpa dasar hukum. “Banyak dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum. Itu telah kita bacakan dalam eksepsi. Selain itu juga, hingga saat ini klien kami tetap taat hukum, dimana setiap sidang tetap hadir. Jika klien kami ditahan dengan alasan mempermudah proses persidangan, sangat tidak masuk akal,” tutupnya. Ali Rustam juga meminta tanggapan Jaksa penuntut Umum atas eksepsi penasehat hukum terdakwa.

Jaksa Penuntut Umum Zulkanaen meminta waktu pada majelis hakim selam satu minggu untuk kembali mempelajari ekssepsi itu. “Saya minta waktu satu minggu pada majelis hakim untuk mempelajari eksepsi yang dibacakan kuasa hukum terdakwa,” ujarnya. Akhirnya majelis memutuskan sidang dilanjutkan 2 Agustus mendatang. (lan)

Terdakwa Penggelapan CPO Ngaku Sakit,.......

Riau Mandiri, Kamis 20 September 2007
JPU Bacakan Keterangan Saksi, PH Walk Out
Dumai-Sidang dugaan penggelapan CPO sebanyak 50 ribu ton milik PT Duta Palma Nusantara dengan terdakwa Suryadi Angga Kusuma Direktur PT Alam Tirta Sari, Rabu (19/9) kemarin kembali digelar. Meskipun terdakwa mengaku sakit, majelis hakim tetap melanjutkan persidangan.

Majelis hakim yang diketuai oleh Ali Rustam SH pada kesempatan tersebut terlebih dahulu menanyakan kondisi terdakwa apakah sehat atau tidak, dan dijawab oleh terdakwa bahwa dirinya dalam kondisi tidak sehat dan tidak dapat mengikuti persidangan. Namun karena tidak disertai dengan surat keterangan sakit dan mengingat masa penahanan, majelis hakim akhirnya memutuskan untuk melanjutkan persidangan.

Majelis hakim kemudian meminta Jaksa Penuntut Umum Anwar Kataren SH dan Isnayanda SH untuk menghadirkan para saksi untuk didengar keterangannya. Namun JPU mengatakan pihaknya telah melakukan pemanggilan sebanyak empat kali terhadap lima saksi, namun hingga saat ini belum hadir, saksi tersebut diantaranya bernama Sumardi manajer operasional PT Dumai Balking anak perusahaan PT Duta Palma tempat perusahaan terdakwa menimbun CPO.

"Kami sudah melakukan empat kali pemanggilan, namun tidak datang, untuk itu kami mohon keterangannya dibacakan saja," ujar JPU yang kemudian dipersilahkan oleh majelis hakim.

Akibatnya, Penasihat Hukum terdakwa Saud Iriyanto Raja Guguk SH dan dua orang rekannya melakukan protes hingga walk out dari ruang sidang. Disebutkan Saut bahwa seharusnya sidang hari ini (kemarin red) tidak dapat dilanjutkan. "Majelis hakim telah mengetahui bahwa terdakwa dalam kondisi tidak sehat, ini harus disadari oleh majelis hakim, karena majelis hakim tidak hanya bertanggung jawab pada proses persidangan, melainkan juga kondisi dari terdakwa yang juga klien kami, sebab selama terdakwa berada di rutan Dumai sebelum vonis hukuman diputuskan adalah tanggung jawab dari Pengadilan," ujarnya.

Saud juga mengatakan keberatannya, bahwa sangat tidak mungkin sidang dilanjutkan tanpa dihadiri para saksi, karena keterangan para saksi nantinya merupakan kunci dari kasus tersebut. "Seharus majelis hakim menyadari dalam KUHAP pasal 145 ayat 5 sudah jelas tertulis bahwa pemanggilan para saksi harus dilakukan, jika memang saksi tersebut tidak dapat hadir walaupun telah dipanggil, seharusnya dipasang pada papan pengumuman dimana sidang tersebut dilaksanakan. Selain itu keterangan para saksi harus didapatkan dengan bertatap muka antara saksi, dengan JPU, majelis hakim, dan penasihat hukum untuk itu kami tidak akan mengikuti jalannya sidang ini," ujar mereka sambil keluar dari ruang persidangan.

Sementara sidang dilanjutkan, JPU kemudian membacakan keterangan lima saksi sesuai dengan berita acara di Kepolisian. Usai membacakan keterangan saksi tersebut, majelis hakim kemudian menanyakan kepada terdakwa apakah ada yang keberatan dengan keterangan saksi tersebut, dan dijawab oleh terdakwa tidak mengerti karena kepalanya merasa sakit.

Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkantanggal 24 September mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan yang meringankan dari terdakwa.(Ian)

Masyarakat Cerenti Tuding PT WJT Serobot Tanah Warga

CERENTI-PT Warna Jingga Timur, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara dituding oleh masyarakat setempat telah menyerobot lahan warga seluas lebih kurang 90 hektar. Selasa (22/50, ratusan warga Desa Kompe Berangin melakukan aksi unjuk rasa dan pertemuan di Aula Kantor Camat Cerenti guna mendesak manajemen PT WJT mengembalikan tahan mereka.

Dalam pertemuan yang dihadiri Camat Cerenti Efrizon Marzuki dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian Sektor Cerenti, masyarakat mendesak PT WJT mengembalikan hak mereka. Sementara pihak PT WJT sendiri diwakili Humas PT Duta Palma mengaku lahan yang dituduhkan warga sudah dibeli dari warga. Namun saat diminta untuk menunjukkan surat-surat kepemilikan oleh warga, pihak perwakilan perusahaan tidak bisa memperlihatkannya.

Selanjutnya disepakati agar pada pertemuan mendatang pihak perusahaan diwakili oleh manajemen yang bisa mengambil kebijakan serta bisa menunjukkan surat kepemilikan seperti telah diakui. Jika tidak warga mengancam akan menduduki lahan, karena mereka merasa tidak pernah menjual lahan itu pada perusahaan, aku Camat Cerenti.

Berdasarkan informasi yang berhasil dirangkum, oknum Kades Kompe Berangin diduga ikut menikmati uang penjualan lahan warga itu. Kondisi ini juga pernah terungkap, saat puluhan warga Simandolak juga memperkarakan hal yang sama beberapa waktu lalu. (n evi)

Riau Mandiri, Kamis 24 Mei 2007

Kerugiaan Capai Miliaran Rupiah Sindikat Pencurian TBS dan CPO Harus Ditindak

PEKANBARU-Kalangan perusahaan kelapa sawit umumnya dan Crude Palm Oil (CPO) di Riau setiap tahunnya mengalami kerugian hingga ratusan miliar akibat pencurian tandan buah segar (TBS) dan penggelapan CPO.

Salah satu pemicunya diduga karena masih lemahnya pengamanan dan penegakan hukum yang belum tuntas untuk kasus-kasus sejenis ini hingga pengadilan.

Staf Humas PT Dumai Bulking, Saud Hutapea, Senin (26/2) mengatakan, perusahaannya mengalami kerugiaan hingga miliaran rupiah setiap tahunnya akibat pencurian CPO. "Kami kira hampir setiap perusahaan sejenis juga mengalami hal yang sama. Artinya setiap tahunnya ratusan miliar rupiah berhasil disikat sindikat pencurian TBS dan CPO di Riau ini," kata Saud yang perusahaannya merupakan grup PT Duta Palma Nusantara (DPN) ini.

Saud memberikan salah satu contoh masih lemahnya penegakan hukum dalam kasus penggelapan CPO ini yakni penggelapan ratusan ton CPO yang dilakukan oleh Suryadi Angga Kusuma alias Tiensu, pada Agustus 2005 lalu.

Suryadi yang merupakan Direktur PT Alam Tirta Sari (PT ATS) diduga telah menggelapkan 500 ton CPO dari tangki penimbunan perusahaan mereka PT Dumai Bulking. “Dalam kasus ini salah seorang tersangka sudah divonis 2 tahun penjara. Namun anehnya tersangka Tiensu ini sempat menghilang hingga setahun lebih," katanya.

Masih untung polisi kemudian berhasil menangkap tersangka di Lampung dan akhirnya kasusnya P-21. Namun, kata Saud, hingga kini kasus itu belum juga sampai ke pengadilan dan lebih disayangkan lagi tersangka tidak ditahan Kejari Dumai. “Melihat lambannya kasus ini, kita kuatir mafia CPO makin sulit diperangi," kata Saud lagi.

Menanggapi masalah ini, Kajari Dumai R Nafrizal yang dikonfirmasi melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Pidum) M Isnayanda melalui telepon selulernya kemarin mengatakan kasus ini tetap berjalan. Dia juga mengatakan Kajari Dumai tidak mengenal istilah kasus tertahan atau mengendap. "Kita masih dalam tahap menyusun tuntutan. Sedangkan tersangka tidak buron. Kita siap menghadirkan setiap saat bila diperlukan," ujarnya Isnayanda dengan nada bersahabat. (sri)

Riau Mandiri, Senin, 26 Februari 2007


Disnaker Riau Tinjau Duta Palma Group

Terkait Laporan Pelanggaran Perda Ketenagakerjaan
TELUK KUANTAN-Menyikapi laporan Pemkab Kuansing terkait pelanggaran UU serta Perda Ketenagakerjaan oleh sejumlah perusahaan, kemarin (13/3) tim dari Disnaker Riau yang diketuai Ir H Asmizal, Kepala Seksi Pengawasan Teknis Disnaker Riau bersama tiga anggota lainnya serta didampingi Kasubdin Tenaga Kerja Hasparial dan Kasi Pengawasan Disduknaker Riau Samsius akan meninjau PT Duta Palma Group yang disinyalir paling banyak melakukan pelanggaran.

Sehari sebelumnya Kadis Duknaker Kuansing Drs H Erlianto membenarkan hal itu. "Kami telah lakukan upaya persuasif dan pembinaan kepada sejumlah perusahaan yang membandel itu, terakhir kami sampaikan laporan kepada Pemprov Riau sesuai arahan Bupati dan Sekda," kata Erlianto.

Berdasarkan hasil temuan seksi Pengawasan Disduknaker Kuansing, sedikitnya ada lima item UU, PP dan Perda yang telah dilanggar oleh sejumlah perusahaan, termasuk Duta Palma Group yang memiliki delapan perusahaan di Kuansing. Di antara item yang dilanggar itu adalah UU No 7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan, UU No 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Kepres No 4 tahun 1980 tentang laporan lowongan pekerjaan, UU No 13 tahun 2003 tentang peraturan perusahaan serta Perda No 7 tahun 2003 tentang penempatan tenaga kerja lokal.

Sedangkan, delapan grup Duta Palma yang disinyalir melakukan pelanggaran terhadap aturan itu adalah Cerenti Subur, Wana Jingga Timur (WJT), Wana Sari Nusantara, Duta Palma Kebun Kukok, Duta Palma Pabrik Kukok, Duta Palma Kebun Kuantan, dan Duta Palma Kebun Cundung.

Terkait hal ini, Anggota DPRD Kuansing dari Komisi A Afri mengaku kecewa dengan ulah sejumlah perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu dinilai telah merugikan Pemkab Kuansing, oleh karenanya sudah layak untuk ditegur secara serius. n evi(n evi)
Sumber : Riau Mandiri Rabu ,14 Maret 2007

Jumat, 05 September 2008

DEKLARASI

KPK – N (KOMITE PENYELAMAT KEKAYAAN NEGARA)

Kami anak-anak Ibu Pertiwi,
adalah pewaris yang syah negeri ini.
Negeri yang dalam hikayat lama
disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Negeri yang dalam dongeng anak-anak
dikisahkan gemah ripah loh jinawi.
Subur, makmur dan sentosa

Karena diatas negeri ini,
hutan nan luas terhampar, berbagi jenis palawija
berebut tumbuh saling menyentuh.
Di bawahnya, Tuhan menyimpan Minyak, gas, timah,
tembaga, bahkan emas dan uranium serta platina.

Suatu saat nanti, bila kami sudah dewasa,
sudah memiliki pengetahuan, akal budi dan tatakrama,
bisa mengambilnya sedikit demi sedikit.

Ya, sedikit demi sedikit, supaya anak-anak kami,
cucu-cucu kami, buyut-buyut kami,
bisa juga menikmati karunia Illahi ini.

Memanfaatkannya demi kesejahteraan semua.

Tapi selama ratusan tahun, kami, bangsa Indonesia,
tidak pernah sungguh-sungguh mencicipi
nikmat persembahan Tuhan itu.

Bukan karena kami tak kunjung dewasa,
bukan juga karena kami tak punya pengetahuan
untuk menggali dan memroses karunia Illahi ini.

Tapi karena mereka, para penguasa negara,
yang kami percaya untuk menjaga dan mengelola kekayaan itu,
hanyut dan dilambungkan gelombang birahi kekuasaan.

Mereka malah berkomplot dengan tuan-tuan dari negeri asing,
merompak kekayaan itu, sehingga alpa membaginya
kepada kami,

Soekarno – Hatta memang sudah memprokalamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 63 tahun lalu.

Tapi hanyalah awal lembaran sejarah Republik Indonesia,
dan bukan pertanda berkhirnya kolonialisme,
bukan pula berakhirnya penguasa sumber daya alam kita
oleh bangsa asing.

Padahal sebagai bangsa yang merdeka
kita dibekali Undang-Undang Dasar 1945
yang didalamnya ada pasal yanmg bilang :

"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara"

dibawahnya ada pasal lain, yang kalau dibaca berbunyi :

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Tapi kenapa ayat-ayat Konstitusi itu hingga negara umur 63, tak kunjung terlaksana?

Apakah karena di pasal itu tidak dijelaskan "negara mana" sehingga "kemakmuran rakyat" pun jadi tak jelas alamatnya?

Atau jangan-jangan mereka, para penyelenggara negara itu, tumpul budaya sampai-sampai tak paham soal bahasa.

Sekarang, setelah 100 tahun Boedi Utomo memaklumatkan Kebangkitan Nasional, 80 tahun setelah Pemuda Indonesia bersumpah yang satu (satu nusa, satu bangsa, satu bahasa).

63 tahun setelah merah putih resmi dikibarkan di antero Nusantara dan reformasi memasuki umur 10,
kami, mayoritas bangsa Indonesia, tetap miskin terpuruk :

miskin
karena distrukturkan dalam peta kemiskinan

bodoh
karena rumah-rumah pendidikan sulit diakses,

penyakitan
karena untuk ongkos sehat mahal.
Kini tak sedkit saudara kami
yang lebih memilih Jalan Hirakiri
justru setelah membunuh anak-anaknya.
Mungkin agar anak-anak mereka
tak lama-lama hidup sengsara di Negeri Surga.

O, anak-anak yang malang,
negeri Tuhan yang anugerahkan kepada kita,
memang didesain seperti surga,
untuk kita nikmati dengan rasa syukur.

Tapi mereka yang telah kita beri kepercayaan,
mengubahnya menjadi surga
hanya untuk mereka sendiri.

Oleh sebab itu, pada hari ini, ditempat ini,
dengan Rahmat Tuhan Maha Bijaksana,
sambil mengepalkan tangan dan meninju langit,
kami pekikkan kemarahan kami,

kami nyatakan pada dunia :

"Kami sudah bersatu padu untuk menyelamatkan

kekayaan negara kami, dengan sepenuh kemampuan

yang kami miliki, sebagai amanat konstitusi,

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat :

Rakyat Indonesia..!"


Jakarta, 28 Juli 2008

Atas nama Deklarator :

Adhie M Massardi Marwan Batubara

Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

Persatuan Rakyat Kalimantan Barat
Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

"Sejarah Penjajahan Yang Berulang"
Latar Belakang Sistem Perkebunan Skala Besar

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang
penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem
pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian
subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan
ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha
pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya
perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya
dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan
sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh
negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme
agraria yang berkembang di negara - negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh
bangsa - bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda
untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara
dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman
menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya
dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan
rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada
saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir
dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada
tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral
Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari
gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di
wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa
kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan
tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan
tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau
perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori
oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri
mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani
untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib
mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku
dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan
tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil
menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu
ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat.
Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang
didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut
terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya
Undang - Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870
(Agraris Wetch). Undang - Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut
secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia
Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya.
Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang
dikenal dengan kuli kontrak.

Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda,
orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman
pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara - bangsa yang bernama
Republik Indonesia, perkebunan - perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa
tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja
Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada
perusahaan - perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden
Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi
dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh
Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi
dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani,
masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum
sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya
meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah.
Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui
kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan
tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu
undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal.
Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu
konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan
plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara
petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual
hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan
program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada
tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam
skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah
menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara
pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak
mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana
masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain
utama dalam perkebunan.

Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat
pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal,
Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondis Petani Plasma Hari Ini

Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema
antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank
Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana
perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun
1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit
Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal
dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif
pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal
perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak
bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif
(biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir
7,6 juta pada tahun 2007[1] dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target
luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025.
Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton[2] dan pada
tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia
mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh
8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan
milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada
tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 %
pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama
pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui
pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi
Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan
dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang
perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun
perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat - syarat yang harus
terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu
areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam
membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang
ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara
tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang
luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan
cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas
perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam
rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan
masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan
berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas
tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui
kebijakan - kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat
birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang
(Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani
belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan
perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika
menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah
untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau
lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut
bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang
ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani.
Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan
tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum
lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat
tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana
produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang
menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap
anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan
produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS
dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak
dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.

Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman
kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman
tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh
tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk
petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya
menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap
sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di
sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala
macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk
menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak
adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan
dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan
perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun
inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun
inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar
unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah
Tipe Baru.

Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik
usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal)
dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli
penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik
diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan
upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat
rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh
sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat
susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai
10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan
sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan
perkebunan merupakan tuan tanah "tipe baru" baik yang dijalankan oleh
perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah "tipe baru"
digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia
tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih
yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani
berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta
produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit
(Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya) . Jadi, tuan
tanah "tipe baru" dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala
besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani
sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan
mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp.
4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang
sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di
potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar

Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan
tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit (
plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan
petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial
yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut
kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan
perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari
sistem tersebut. Disusul oleh elit - elit yang menjadi parasit yang
diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani
plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh
sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur
berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain
terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu
berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi
langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian
kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya
memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan
ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar

Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit
belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan
lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang
ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum -kaum parasit ditingkat desa
merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar.
Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini
harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar
tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan
mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan
upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan
akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi
petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas
petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut
tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri,
tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan
buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya
adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling
menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah
tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme.
Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas,
menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua
golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum
dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

(PERSATUAN RAKYAT KALIMANTAN BARAT)

AGRA, SERIKAT TANI SERUMPUN DAMAI (STSD), SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
(SPKS), UP Link, Lembaga GEMAWAN, WALHI Kalbar, FMN

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

[1] Data Sawit watch 2007

[2] Data Ekspor CPO GAPKI tahun 2006, sedangkan data eksport CPO pada tahun
2007 semester 1 (Juni 2007) masih berada pada kisaran 5,52 ton

Pengusaha Tolak Moratorium Sawit

Pengusaha Tolak Moratorium Sawit
Secara Internal Telah Dilakukan Pemerintah
Rabu, 27 Agustus 2008 | 01:25 WIB

Jakarta, Kompas - Industri kelapa sawit menolak tawaran jeda sementara
pembukaan lahan gambut seperti ditawarkan Greenpeace Asia Tenggara. Prinsip
dan kriteria sawit berkelanjutan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil
atau RSPO dinilai cukup untuk mewujudkan industri kelapa sawit ramah
lingkungan.

Demikian dikatakan Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki)
Derom Bangun dalam pertemuan yang digagas Greenpeace Asia Tenggara di
Jakarta, Selasa (26/8). Pertemuan dihadiri pebisnis kelapa sawit, pengguna
minyak sawit, dan LSM.

Jeda sementara (moratorium) pembukaan lahan gambut dinilai Greenpeace
penting dan mendesak dilakukan di tengah lemahnya tata kelola pemerintah.
Moratorium kelapa sawit dinilai berpotensi memberi solusi, selain karena
membutuhkan lahan luas, juga bersifat dinamis.

"Kami tidak perlu ikut moratorium, yang penting menjaga kelestarian alam
dengan prinsip- prinsip RSPO," kata Derom kepada wartawan. Ia meminta
seluruh anggota Gapki-250 perusahaan-mengikut i aturan RSPO yang berdimensi
sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Ruang lingkup moratorium gagasan Greenpeace, di antaranya, mencakup semua
kawasan yang telah keluar izin dan hak guna usahanya, tetapi belum ditanami.
Penerapannya, tidak membuka vegetasi, tak ada perluasan, tidak membuka
sarana-sarana lain.

Adapun prinsip RSPO, di antaranya, antipembukaan lahan dengan membakar,
pengawasan perlindungan lingkungan, mengolah limbah, mengurangi pupuk,
menghormati hak-hak adat, dan berkontribusi pada pembangunan lokal.

Di lapangan, seperti diungkapkan Arifin, pembicara dari Serikat Tani Kelapa
Sawit (STKS), hak- hak adat dan petani sering diabaikan pengusaha. Pembinaan
amat minim dan petani/masyarakat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan
perusahaan.

"RSPO justru mensyaratkan persatuan organisasi petani yang solid. Di
antaranya mampu mengadakan pertemuan-pertemuan reguler untuk menerima
berbagai pelatihan," kata Desi Kusumadewi dari RSPO Indonesia Liaison
Officer.

Seperti diakui Derom, hingga kini belum ada satu pun perusahaan kelapa sawit
Indonesia yang menerima sertifikat RSPO. "Paling cepat baru dua atau tiga
bulan mendatang karena keterbatasan tenaga audit," kata salah satu wakil
ketua RSPO itu.

Sikap pemerintah

Menanggapi seruan moratorium itu, Direktur Jenderal Perkebunan Departemen
Pertanian Achmad Mangga Barani mengatakan, secara internal hal itu mereka
terapkan. Desember 2007, Mentan mengeluarkan surat berisi permintaan agar
gubernur dan bupati tak mengeluarkan izin pembukaan lahan gambut untuk
perkebunan. "Kami akan uji publik dulu, hasilnya Oktober 2008 mendatang,"
kata dia.

Mangga Barani enggan mengungkapkan isi kajian itu. Pihak Deptan akan membuat
peta per pulau, termasuk menentukan lokasi-lokasi lahan gambut yang boleh
dibuka dan yang tidak.

"Tidak mungkin kalau tak boleh sama sekali, yang penting bagaimana tetap
memanfaatkan, tapi keinginan dunia tetap terpenuhi," tutur dia.

Penasihat politik Greenpeace Asia Tenggara Arief Wicaksono menolak anggapan
pihaknya anti-industri sawit. Ajakan moratorium justru untuk keberlanjutan
industri itu sendiri.

"Sebaiknya, industri apa pun jangan menangguk laba dari lemahnya tata
kelola," katanya. Di tengah lemahnya tata kelola, industri kelapa sawit
dinilai menjadi salah satu faktor penting deforestasi/ perubahan iklim di
Indonesia. (GSA)

Perjanjian Pinjaman Climate Change Ditandatangani

Perjanjian Pinjaman Climate Change Ditandatangani
02-Sep-2008 | 09:31

02/09/08 17:21
Jakarta (ANTARA News) - Departemen Keuangan mengungkapkan, perjanjian pinjaman (loan agreement) terkait perubahan iklim (climate change) dari pemerintah Jepang sebesar 300 juta dolar AS akan ditandatangani pada Rabu (3/9) besok."Tapi pencairannya baru dilakukan pada sekitar triwulan keempat disesuaikan dengan posisi `cash` pemerintah. Sekarang kan masih surplus dalam jumlah besar," kata Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu, Rahmat Waluyanto, di Jakarta, Selasa.

Pinjaman tersebut akan menjadi bagian dari pinjaman program pemerintah untuk menutupi defisit anggaran pada 2008 yang diperkirakan mencapai 1,6-1,7 persen. Pemerintah menargetkan penarikan pinjaman program secara keseluruhan pada tahun ini bisa mencapai sekitar 2,6 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Jurubicara Deplu, Teuku Faizasyah mengatakan, pemerintah Indonesia kemungkinan akan diwakili Dubes Indonesia untuk Pemerintah Jepang dalam penandatanganan tersebut.

Pinjaman yang diberikan tersebut akan menggunakan tingkat bunga 0,15 persen per tahun dengan masa pinjaman 15 tahun.

Penandatangan "Loan Agreement" itu akan menjadi puncak dari proses panjang yang diawali dari pertemuan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhyono dan PM Fukuda pada KTT G8 Juli lalu di Hokkaido, Jepang.

Pinjaman yang diberikan melalui mekanisme pembiayaan luar negeri bernama "Cool Earth Partnership" itu sendiri bertujuan membantu Indonesia mengembangkan kebijakan mengatasi perubahan iklim.

Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat kemampuan dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim. Bantuan juga sebagai respon terhadap pendekatan sektoral yang banyak mempengaruhi terhadap perubahan iklim. Sektor yang difokuskan antara lain sektor kehutanan, energi, perindustrian, dan manajemen pengadaan air.

Sektor kehutanan diarahkan kepada tuntutan mekanisme pasar terbaru yang bertujuan mengurangi kerusakan hutan. Peningkatan kapasitas sektor kehutanan dalam penyerapan CO2, serta mencegah kebakaran hutan.

Di sektor energi, diarahkan untuk mendorong peningkatan kapasitas pembangunan energi geothermal menjadi 9.500 megawatt, pembuatan UU energi yang relevan, dan penciptaan iklim investasi yang sejalan dengan kebijakan pengembangan energi terbarukan, berikut upaya konservasi energi lainnya.(*)

COPYRIGHT © 2008
Source:ANTARA

Sertifikasi LEI pada diamond Di SUSPEND...!!!

Perkembagan Sertifikasi PHAPL 2008
27 Juni 2008

Dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2008, proses sertifikasi LEI untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) telah diterapkan di berbagai daerah atas sejumlah unit manajemen.

Sejauh ini 5 ( lima ) unit manajemen berbasis hutan alam produksi yang telah lulus sertifikasi LEI yaitu :

  1. PT. DIAMOND RAYA TIMBER
  2. PT. INTRACAWOOD MANUFACTURING
  3. PT. SARI BUMI KUSUMA Unit Seruyan
  4. PT. ERNA DJULIAWATI
  5. PT. SUMALINDO LESTARI JAYA UNIT II

Langkah ini diikuti oleh unit manajemen lain berbasis hutan alam produksi, yaitu :

1. PT. Sarmiento Parakanca Timber (Sarpatim), Kalimantan Tengah, sedang dalam proses menempuh sertifikasi bertahap.

Untuk memperkuat rekognisi pasar atas produk hutan tanaman yang berlogo LEI, LEI melaksanakan program promosi sebagai berikut :

  1. Pernyataan-pernyata an di media massa terkait dengan Green Products yang mulai diminta oleh pasar Eropa dan Amerika.
  2. Iklan di Inflight Magazine Garuda Indonesia 2007 atas keluarnya produk furniture yang berbahan baku lestari bersertifikasi LEI.
  3. Mempromosikan LEI dan produknya di Asmindo Pavillion pada Pameran Produk Ekspor 2007, Jakarta International Expo.
  4. Mempromosikan LEI dan dan produknya (baik jasa maupun produk bersertifikat LEI) di Green Pavillion pada Pameran IFFINA 2008, Jakarta International Expo.

Untuk menjaga kredibilitas sistem sertifikasi LEI dalam mendorong praktek pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, maka Lembaga Sertifikasi LEI PT. Mutu Agung Lestari telah menahan (suspend ) sertifikat PT. Diamond Raya Timber, Riau.

Wahh, Utang Indonesia Rp 1.462 Triliun!

Wahh, Utang Indonesia Rp 1.462 Triliun!
Sumber: Kompas
Selasa, 2 September 2008 | 10:04 WIB


JAKARTA, SELASA - Jangan-jangan, Anda tidak bisa tidur jika melihat kenyataan bahwa utang negara kita ternyata amat besar. Hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun!

Adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan (Depkeu) yang baru-baru ini merilis perkembangan utang negara sejak 2000 hingga 31 Juli 2008. Total utang negara ini terdiri dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Surat Utang Negara (SUN).

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto lantas memerinci jumlah utang luar negeri adalah Rp 568 triliun atau 62,3 miliar dollar AS sedangkan SUN senilai Rp 894 triliun. Lebih separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka tersebut, 40 persen adalah utang dari Jepang.

Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.

Yang penting, ungkap Rahmat, Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Rasio ini pada 2000 sebesar 88 persen dan kini tinggal 34 persen saja. "Memang secara nominal terus meningkat tapi jumlah itu masih manageable," kata Rahmat, Senin (1/9).

Selain itu, Rahmat juga meminta masyarakat melihat semakin berkurangnya utang luar negeri baru. Saat ini, tambahan neto utang luar negeri sejak 2005 itu selalu negatif. "Artinya, pembayaran utang selalu lebih besar daripada utang baru," kata Rahmat. Tahun ini, hingga Juli 2008, pemerintah telah membayar bunga dan biaya utang luar negeri sebesar 1,292 miliar dollar AS.

Awasi penggunaan utang
Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengakui keberhasilan pemerintah menata utang. Ini terlihat dari beberapa rasio utang, baik terhadap PDB, rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa, rasio utang terhadap kesinambungan fiskal, dan upaya menjaga profil maturity utang. "Semuanya relatif masih oke," kata Anton.

Yang penting, dalam berutang, pemerintah harus mempertimbangkan alokasi penggunaan, termasuk menutup tingginya kebocoran utang. Meski begitu, dia berharap pemerintah tidak alergi tapi juga tidak lantas jorjoran berutang. Kalau memang utang itu bunganya rendah dan mampu meningkatkan kapasitas produksi perekonomian, kenapa tidak berutang" kata Anton.
(Arief Ardiansyah)

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai
Kamis, 28 Agustus 2008 | 00:52 WIB
Oleh Hamzirwan


Di tengah pro-kontra yang terjadi, nilai ekspor minyak kelapa sawit
mentah atau CPO tumbuh 137 persen pada semester I-2008 dibanding
periode yang sama 2007. Selain faktor harga, kenaikan volume ekspor
33,6 persen juga turut berperan. Bahkan, pemerintah menargetkan
penerimaan bea keluar CPO 2008 mencapai Rp 9 triliun.

Walau angka-angka itu sungguh menggiurkan, sebaiknya jangan dulu
bergembira. Perjuangan berat industri CPO nasional baru dimulai.
Konsumen kini kian kuat menuntut proses produksi yang ramah lingkungan
atau lestari.

Seiring dengan itu, produsen, konsumen, dan LSM lingkungan hidup pun
membentuk Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on
Sustainable Palm Oil/RSPO) sejak tahun 2003 untuk membangun komitmen
produksi CPO lestari.

RSPO menyusun delapan prinsip dan 39 kriteria sebagai panduan bagi
para pemangku kepentingan minyak kelapa sawit. Setiap negara diberi
kebebasan menerjemahkan lebih rinci prinsip dan kriteria itu.

Sebelum disahkan, hasil interpretasi nasional tersebut dibahas dalam
berbagai sidang RSPO. Indonesia menyusun 120 indikator, dari delapan
prinsip dan 39 kriteria, yang telah diajukan untuk disetujui sidang
RSPO.

Harus bisa

Mau tidak mau, sebagai produsen 17,8 juta ton CPO, yang 13,5 juta ton
di antaranya diekspor, dan berkontribusi sedikitnya 42 persen terhadap
pasokan CPO internasional, Indonesia harus terus memperbaiki diri. Ini
tidak bisa dihindari karena konsumen kini menuntut produk lestari,
tidak hanya CPO.

Tuntutan produk lestari itu antara lain izin usaha perkebunan di
kawasan hutan produksi tak boleh lagi diterbitkan. Dari 23 juta hektar
kawasan hutan yang diizinkan dikonversi untuk perkebunan pada masa
Orde Baru, baru 2 juta ha yang direalisasikan.

Penggunaan pestisida dan herbisida harus memerhatikan dampak negatif
terhadap pekerja dan kualitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.
Limbah produksi CPO harus diolah sebelum dibuang.

Tingkat kesejahteraan petani dan pekerja perkebunan kelapa sawit pun
turut menjadi perhatian konsumen di pasar dunia.

Seusai mengunjungi pabrik pengolahan kelapa sawit PT Anugerah Langkat
Makmur (ALAM) di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara, Sabtu (23/8), Menteri Pertanian, Lingkungan, dan Pangan
Kerajaan Belanda Gherda Verburg mengapresiasi berbagai kemajuan yang
telah dicapai Indonesia.

”Mereka (petani dan produsen) telah maju selangkah demi selangkah, dan
yang paling penting adalah menyaksikan langsung dengan mata kami
sendiri pengalaman Anda membuat kemajuan (memproduksi CPO lestari).
Saat kembali ke Belanda, saya akan mengajak para pihak di Belanda dan
Eropa berdialog untuk mencegah produsen dan konsumen menyusun kriteria
yang berbeda,” kata Verburg.

Daya tawar petani

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2007 mencapai 6,7 juta
ha. Sebanyak 2,7 juta ha di antaranya milik petani yang dikelola oleh
sedikitnya 2 juta keluarga.

Saat berbicara di depan peserta KUD Rahmat Tani, yang merupakan proyek
plasma bantuan ADB tahun 1980, Verburg mengapresiasi pola kerja sama
yang dibangun petani dengan produsen CPO, yang menyetarakan daya tawar
kedua pihak dalam menetapkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Koperasi Unit Desa Rahmat Tani, yang mengelola PIR ADB beranggotakan
500 keluarga, dan KUD Baja, beranggotakan 243 keluarga, telah memiliki
daya tawar dengan pengusaha sehingga mampu memperoleh harga pembelian
TBS tertinggi.

Kedua koperasi tersebut selama ini memasok TBS ke PT ALAM.

Ketua KUD Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting mengatakan, produksi TBS
mencapai 25.000 ton dengan harga rata- rata Rp 795,15 per kilogram
pada 2006. Tahun 2007 sebanyak 23.223 ton, harga rata-rata Rp 1.369,62
per kg, dan selama semester I-2008 sebanyak 12.000 ton dengan harga
rata-rata Rp 1.990,09 per kg.

Rp 6,8 juta per bulan

Dengan harga yang relatif bagus, maka rata-rata penghasilan bersih
petani Rp 2.279.583 per bulan selama tahun 2006 dan sebanyak Rp
3.914.000 per bulan tahun 2007. Saat harga CPO menyentuh level 1.200
dollar AS per ton selama semester I-2008, rata-rata penghasilan petani
Rp 6.288.333 per bulan.

”Setiap bulan, kami menenderkan penjualan TBS. Jadi, kami hanya
menjual ke pabrik dengan harga pembelian tertinggi,” ujar Ketua KUD
Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting.

Menurut Direktur Utama PT ALAM Musa Rajekshah, pihaknya selalu membeli
TBS petani dengan harga tinggi. Selain itu, ALAM juga merawat
infrastruktur dari kebun petani hingga ke pabrik, yang berjarak
sekitar 100 kilometer ke utara Medan.

”Harga TBS yang baik membuat petani bisa merawat kebunnya.
Infrastruktur yang baik juga memudahkan mereka mengangkut hasil
panennya ke pabrik kami dengan ongkos angkutan yang murah sehingga
penghasilan mereka tetap tinggi. Walau masih memproduksi CPO untuk
pasar domestik, kami sangat memerhatikan prinsip ramah lingkungan,”
katanya

Walhi Kritik GAPKI

Walhi Kritik GAPKI

PALANGKA RAYA- [Kalteng Pos], Sikap Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) Kalteng yang belum bersedia menandatangani hasil Rapat
Koordinasi Perkebunan yang diselenggarakan Pemprov Kalteng, menuai kritik.
Sikap GAPKI menurut Walhi Kalteng sebagai cermin bahwa pengusaha besar
perkebunan tak punya komitmen untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.

" Di satu sisi ada niat baik dari pemerintah untuk melindungi sekaligus
berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun rupanya niat itu tak
disambut baik oleh pengusaha besar perkebunan," ujar Direktur Walhi Kalteng
Satriadi.

Sikap ini menurut Satriadi, merupakan bentuk pembangkangan atau
pelecehan pengusaha terhadap keputusan Bupati, gubernur, bahkan menteri.
Karena keputusan mengalokasikan 20 persen untuk kebun rakyat atau plasma itu
berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No.26 tahun 2007, yang kemudian
disepakati dalam rakor perkebunan Kalteng.

Satriadi minta Pemda untuk tak lemah atau pun gentar menghadapi sikap
GAPKI ini. Justru Pemda bersikap tegas. Karena yang diperjuangkan adalah
rakyatnya. " Salah satu fungsi pemerintah adalah melindungi dan
menyejahterakan rakyat," jelasnya.

Bagaimana jika investor perkebunan lari, menurut Satriadi hal itu tidak
perlu ditakutkan. Sebab investor yang baik adalah yang tak hanya memikirkan
keuntungan semata, tapi peduli dengan pembangunan di daerah dan mau ikut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.

"Rekomendasi ini juga pandangan saya, merupakan test case bagi
pengusaha besar perkebunan. Apakah betul gembor-gembor yang mereka sampaikan
selama ini ingin membantu membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, atau hanya sekedar mencari untung saja. Disini akan ketahuan,"
ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rakor Perkebunan tingkat Provinsi
menghasilkan sejumlah poin. Namun sayangnya hasil rekomendasi itu belum
ditandatangani oleh GAPKI. Penyebabnya ada poin yang masih belum disetujui
pengusaha. Yakni terkait dengan realokasi areal konsensi PB yang belum
memiliki HGU minimal 20 persen untuk kebun rakyat/plasma.

LARANG JUAL BELI PLASMA

Pada kesempatan itu, Satriadi juga mendukung hasil rakor yang meminta
pemko dan pemkab menginventarisir jual beli kebun plasma dan tidak
membolehkan atau melarang jual beli kebun plasma di waktu yang akan datang
dan apabila dimungkinkan lahan yang telah diperjualbelikan dapat dibatalkan.

Seharusnya tak hanya sekedar rekomendasi, tapi akan lebih baik lagi
jika larangan jual beli kebun plasma ini oleh perusahaan atau pejabat di
perusahaan itu dituangkan dalam keputusan bupati atau gubernur. Bahkan kalau
perlu dimasukan dalam klausul perizinan yang dikeluarkan oleh kepala daerah,
baik bupati atau gubernur. Sehingga keputusan itu menjadi berkekuatan hukum.

Memang menurut temuan Satriadi di lapangan, bahwa sebagian kebun plasma
milik masyarakat ada yang dijual, baik ke perkebunan atau para
pejabat-pejabat di perkebunan. Jangan heran jika menemukan ada kebun plasma
justru dimiliki oleh para manajer perkebunan atau pejabat lainya.

Hal ini terjadi karena tidak jelasnya pola plasma yang dikembangkan
selama ini. Plasma yang dikembangkan belum mampu membuat kehidupan petani
menjadi lebih baik. " Kami pernah melakukan wawancara dengan petani plasma.
Ternyata penghasilan perbulan yang diterima petani antara Rp 150 ribu sampai
Rp 200 ribu, setelah dipotong berbagai kewajibannya, " ujar Satriadi.

Dengan penghasilan seperti, mana bisa membuat petani plasma menjadi
lebih baik hidupnya. Akhirnya sebagian menjadi buruh di kebun untuk menambah
penghasilan. Petani yang tak tahanpun langsung menjual kebun itu. (sma)

============ ========= ========= ========= ========= ==
Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah
Jl. Cik Ditiro No. 16 Palangka Raya - Kalimantan Tengah 73112
Telp/Fax ; 0536-3226437 / 3238382
Email ; kalteng@walhi. or.id

Jumat, 16 Mei 2008

Climate and Energy Policies hurt the people of Jambi

Climate and Energy Policies hurt the people of Jambi

Recommendation from the "Climate Change Workshop" in Jambi, 24-25
November 2007

Farmers, community organizers and civil society met in Jambi,
island of Sumatra, Indonesia, to discuss the local consequences of
the global climate change.
People of Jambi are already suffering
from uncertain weather conditions like droughts and heavy rains
which they believe to be the effects of climate change. They are
concerned that climate and energy policies all over the world will
put a further burden to the people of Jambi, because these policies
tend to facilitate the conversion of more forests, agricultural and
community land into large scale monoculture plantations.

The province of Jambi already is a centre of the agro-industry.
Plantations dominate nearly half of the area of Jambi, with 1.3
million hectares palm oil concessions and 267,500 hectares pulp
concessions. Palm oil plays an important role in the province's
macro-economy.

However, the negative impacts outweigh any benefits. The change in
land use in the province only victimizes nature and people of Jambi.
Forests have been and still are destroyed on a large scale to be
converted into monocultures for the production of export
commodities, destroying Jambi´s rich biodiversity. The habitat of
many endangered species like the Sumatran tiger already is gone
forever.

Community and agricultural land is rampaged by trans-national
corporations for the production of agrofuel feedstock to satisfy the
thirst for "sustainable" energy and to "mitigate" climate change.
The Indonesian government issues concessions to these trans-
nationals, without any concern to the rights of the inhabitants of
Jambi. The result is that most villagers have lost access to their
land and therefore lost the sources for a living. Consequently,
poverty is rising.

It is common practice that community land planted with rubber trees
is bulldozed by plantation companies overnight. For example, in the
year 2000, the villagers of Sarulangun found their rubber trees
destroyed and replanted with oil palms. Since seven years, the
people of Sarulangun have completely lost their livelihood. This is
only one example; more than 200 other social and land conflicts
remain unresolved.

We, the participants of the Climate Change Workshop in Jambi
identify global energy and climate policies as external driving
forces to even more poverty and ecological destruction. However,
there are internal Indonesian problems which contribute to the
suffering of the people. These root problems should be solved first
before any new investments into agro-business in Jambi.

According to Indonesian law, the state is the sovereign of land,
forest, sea and air. It is not the people who live and cultivate the
land. They can be easily evicted, without any compensation. Since
forty years, the people of Jambi, like all Indonesians, have not
enjoyed any sovereignty over their own resources. This is the root
cause of the suffering of the people.

We, the participants of the Climate Change Workshop in Jambi are
concerned that new agreements, political decisions and investments
without participation of the local people will lead to more poverty
and even to hunger.

Therefore, we recommend:

The government of Indonesia should anticipate the root causes of the
suffering of the people by

Ø respecting the human rights of its citizens;

Ø acknowledging the right to land;

Ø solving human rights violations and pending land tenure
conflicts first.

International investors should insist on agreements which guaranty

Ø people's sovereignty over land, forest, water and air;

Ø the participation of the people in decision making,
agreements and implementation of new investments into agro-business;

Ø the welfare of the people and rural communities.

The global community should respect

Ø the role and the wisdom of the people of Jambi to protect
forest and nature;

Ø the right of the people of Jambi to food and clean water;

Ø and the importance of Jambi´s biodiversity for the future of
the earth.

For farmers, communities and forest dwellers:

Dani, Bandung Jambi

Gatot, Muara Jambi

Gunawan, Sarolangun

Sabriyadi, Muara Jambi

Joni, Muara Jambi

Junaidi, Muara Jambi

Kurniawan, Tanjab Baral

M. Rusdi, Sarolangun

Pengendum (forest people)

Rahmat Santoso, Sarolangun

Tam, Tanjab Baral

We, NGO`s from Jambi, support the recommendation of the farmers and
communities from Jambi province:

Afrizal, GITASADA

Budi, NGO SERDA

Dani, ARC

Donny Pasaribu, National Park Safety Foundation

Feri Irawan, WALHI Jambi

Husni Thamrin, PINSE Jambi

Musri Nauli, Yayasan Keadilan Rakyat

Rukayah Rofiq, SETARA

Selasa, 13 Mei 2008

Tak Kantongi Izin, Duta Palma Garap Lahan Bergambut

Selasa, 8 April 2008 19:09
Tak Kantongi Izin, Duta Palma Garap Lahan Bergambut

Kendati belum mengantongi ijin usaha perkebunan (IUP) maupun Hak
Guna Usaha (HGU), anak perusahaan PT Duta Palma Group, PT. Bertuah
Aneka Yasa dan PT. Palma Satu , sudah membabat lahan bergambut untuk
dijadikan kebun sawit.

Riauterkini- PEKANBARU- Pada tanggal 19 Maret 2008 lalu, tim
investigasi Greenpeace mengunjungi areal PT. BAY dan PT. Palma Satu.
Tim Greenpeace menyaksikan para penebang yang diupah oleh perusahaan
kembali membuka lahan hutan yang tersisa.

Dalam investigasi tersebut, Greenpeace memetakan lokasi operasi
pembukaan lahan pada posisi koordinat 0°29'10.7" LS dan 102°37'54.1"
BT sampai dengan 0°31'06.1" LS dan 102°38'03.3" BT. Greenpeace juga
merekam lokasi tiga titik penebangan pada koordinat 0°31'04.3" LS
dan 102°38'13.9" BT.

"Baik PT. BAY maupun PT. Palma Satu hingga kini belum mengantongi
hak guna usaha (HGU). Sebelum memperoleh HGU, sebuah perusahaan
perkebunan harus terlebih dahulu melakukan permohonan ijin usaha
perkebunan (IUP) yang diberikan oleh Bupati," kata Zulfahmi
Campaigner and Researcher Greenpeace Southeast Asia Indonesia.

Dalam proses pengurusan IUP, termasuk di dalamnya dibutuhkan analisa
dampak lingkungan (AMDAL) dan perjanjian kompensasi dengan komunitas
yang terkena dampak atas perkebunan tersebut.

"Namun ternyata PT. BAY telah membuka hutan serta mengeringkan
gambut sedangkan PT. Palma Satu sedang memulai kegiatan penebangan
hutan sebelum seluruh proses perijinan tersebut dilalui," kata
Zulfahmi.*** (H-we)

Senin, 12 Mei 2008

Es di Arktik Segera Lenyap Tahun 2008

Lingkungan Hidup
Es di Arktik Segera Lenyap Tahun 2008
Selasa, 13 Mei 2008 | 00:23 WIB
Tokyo, Senin - Es Arktik mencair dengan begitu cepat. Semua daerah yang
tercakup lapisan es di samudra bisa menyusut pada musim panas ini sampai
ke yang terkecil. Pelelehan es terjadi sejak 1978 ketika observasi lewat
satelit pertama dimulai.

”Lapisan-lapisan es di Samudra Arktik menyusut hingga akhir musim panas
2007,” kata para peneliti pada Japan Aerospace Exploration Agency dalam
sebuah laporan di situs internetnya, Senin (12/5).

Penuturan para peneliti Jepang itu serupa dengan yang disebutkan kelompok
lingkungan World Wildlife Fund (WWF) beberapa pekan lalu. WWF mengatakan,
pemanasan global menghantam Arktik lebih keras dan lebih cepat
dibandingkan dengan yang diperkirakan ilmuwan.

Hal ini menyebabkan terjadi perubahan tak terduga pada es, satwa,
atmosfer, dan samudra kawasan es di sekitar kutub utara. Menurut kelompok
lingkungan itu, perbedaan yang paling mencolok selama tiga tahun terakhir
antara lain sangat cepatnya penurunan es laut pada musim panas dan
menyusutnya secara cepat Lapisan Es Greenland.

”Kita melihat pemanasan suhu yang berlangsung cepat,” kata Ted Scambos,
ilmuwan utama pada National Snow and Ice Data Center (NSIDC) di Boulder,
Colorado, AS. ”Penjelasan yang terbaik adalah pemicunya adalah gas rumah
kaca,” katanya. Scambos tidak terlibat dalam laporan WWF itu.

Tuntut pengurangan emisi

”Pelestarian ekosistem Arktik memerlukan pengurangan emisi yang
menyebabkan perubahan iklim. Hal itu juga menuntut pengurangan kegiatan
manusia yang mengancam kawasan yang mencakup antara Kutub Utara dan daerah
hutan utara dari Eurasia dan Amerika Utara,” kata WWF.

”Selain emisi gas rumah kaca, faktor stres lain yang memengaruhi Arktik
adalah pembangunan instalasi minyak dan gas, pelayaran, dan kontaminasi
seperti jelaga,” kata Martin Sommerkorn, penasihat perubahan iklim pada
WWF dan penulis kajian itu. ”Pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal,
dan para aktivis lingkungan harus bekerja sama untuk mengelola ekosistem
kawasan Arktik itu dan membantu mereka beradaptasi,” katanya.

Lembaga PBB mengenai perubahan iklim, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), dalam laporannya tahun lalu mengatakan suhu di Arktik
meningkat sampai dua kali dari rata-rata kecepatan pemanasan global. Cuaca
lebih panas mencairkan es di laut dan di Greenland, yang mengandung air
untuk menaikkan permukaan laut global setinggi 7 meter.

Es laut menyusut pada bulan September 2007 menjadi kecil. Mencairnya es
laut tidak menaikkan permukaan air karena es itu sudah berada di samudra.
Namun, mencairnya pucuk-pucuk es seperti Greenland akan menyebabkan
peningkatan permukaan laut.

Akan tetapi, pencairan lapisan es secara keseluruhan diperkirakan tidak
akan terjadi pada abad ini, sebagaimana diutarakan IPCC. Badan ini
meramalkan permukaan laut akan naik 18 sampai 59 sentimeter sebelum 2100.

”Meningkatnya suhu di Arktik itu berpengaruh pada penurunan populasi
kelompok-kelompok beruang kutub,” menurut laporan WWF.

”Sebuah kajian memperkirakan bahwa sebelum pertengahan abad ini, kehidupan
beruang kutub akan terbatas pada ujung utara Kanada dan ujung utara
Greenland,” kata Sommerkorn. ”Yang akan kita lihat adalah penurunan
sekitar dua pertiga populasi beruang kutub.”

Dia memperingatkan juga kemungkinan perubahan di Arktik akan menciptakan
keadaan di mana suhu yang lebih panas semakin menimbulkan perubahan yang
membuat lebih banyak pemanasan lagi pemanasan global.

”Arktik adalah tempat yang memanas paling cepat,” kata Sommerkorn.
(Reuters/Bloomberg/ DI)

http://www.kompas. com/kompascetak. php/read/ xml/2008/ 05/13/00231972/ es.di.arktik. segera.lenyap. tahun.2008

Era Orientasi Lingkungan: 3 TAHUN UNTUK MENSIASATI LINGKUNGAN

Era Orientasi Lingkungan: 3 TAHUN UNTUK MENSIASATI LINGKUNGAN

Perluasan Lahan Kebun Sawit Dibatasi

Sumber Daya Alam
Perluasan Lahan Kebun Sawit Dibatasi

Selasa, 13 Mei 2008 | 00:29 WIB
Jakarta, Kompas - Perluasan kebun kelapa sawit, yang disorot organisasi
lingkungan internasional karena dampak sosial dan lingkungannya, dibatasi
dengan memanfaatkan lahan telantar. Meski demikian, beberapa kasus
pembukaan hutan untuk kebun baru atas izin pemerintah daerah terungkap di
lapangan, seperti laporan Greenpeace Asia Tenggara di kawasan Riau.

”Dulu mungkin ada, tetapi sekarang tidak masuk hutan lagi. Hanya
dikembangkan di luar kawasan hutan,” kata Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Didiek Hadjar Goenadi di
sela-sela acara Seminar Perubahan Iklim, Pertanian, dan Perdagangan, yang
diselenggarakan Dewan Kebijakan Perdagangan Pangan dan Pertanian
Internasional (IPC) dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR)
di Bogor, Senin (12/5).

Di tengah dialog perubahan iklim global, perkebunan kelapa sawit disorot
karena melibatkan pembukaan hutan besar-besaran yang berakibat pelepasan
karbon dioksida, unsur utama pembentuk gas rumah kaca.

Tingginya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di pasar dunia dinilai
berperan pada pembukaan hutan. ”Para pendatang baru mungkin lupa dengan
ketentuan itu,” kata Didiek. Sebagian pendatang baru merupakan anggota
Gapki (total anggotanya 267 perusahaan). Namun, Gapki tak bisa memberikan
sanksi. Alasannya, prinsip produksi kelapa sawit berkelanjutan, seperti
ketentuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang belum lama
disepakati. ”Kami terus menyosialisasikan agar anggota mematuhi prinsip
RSPO,” katanya.

Data terakhir, dari luas kebun kelapa sawit 6,2 juta hektar (ha), 3,5 juta
ha di antaranya dikuasai anggota Gapki. Total produksi CPO, 17 juta ton.

Menurut Didiek, pembukaan lahan baru kelapa sawit diarahkan pada lahan
telantar bekas HPH, total luas sekitar 7 juta ha.

Sejumlah pembicara kemarin menyatakan, tingginya permintaan pangan dan
energi mengancam keutuhan hutan karena butuh lahan baru. Solusi ilmu
pengetahuan amat diharapkan.

Robert Thompson dari Agricultural Policy University of Illinois at
Urbana-Champaign menyatakan, pemerintah dan swasta harus bahu-membahu
mengembangkan penelitian, seperti pertanian adaptif, di mana jenis tanaman
pangan dapat tumbuh di lahan tertentu, seperti kedelai di padang rumput
Brasil. Menurut dia, pada masa depan dibutuhkan produksi pangan dengan
produksi berlipat-lipat dari lahan sempit dan konsumsi air minim. (GSA)

http://www.kompas. com/kompascetak. php/read/ xml/2008/ 05/13/00290674/ perluasan. lahan.kebun. sawit.dibatasi

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !