Jumat, 05 September 2008

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai
Kamis, 28 Agustus 2008 | 00:52 WIB
Oleh Hamzirwan


Di tengah pro-kontra yang terjadi, nilai ekspor minyak kelapa sawit
mentah atau CPO tumbuh 137 persen pada semester I-2008 dibanding
periode yang sama 2007. Selain faktor harga, kenaikan volume ekspor
33,6 persen juga turut berperan. Bahkan, pemerintah menargetkan
penerimaan bea keluar CPO 2008 mencapai Rp 9 triliun.

Walau angka-angka itu sungguh menggiurkan, sebaiknya jangan dulu
bergembira. Perjuangan berat industri CPO nasional baru dimulai.
Konsumen kini kian kuat menuntut proses produksi yang ramah lingkungan
atau lestari.

Seiring dengan itu, produsen, konsumen, dan LSM lingkungan hidup pun
membentuk Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on
Sustainable Palm Oil/RSPO) sejak tahun 2003 untuk membangun komitmen
produksi CPO lestari.

RSPO menyusun delapan prinsip dan 39 kriteria sebagai panduan bagi
para pemangku kepentingan minyak kelapa sawit. Setiap negara diberi
kebebasan menerjemahkan lebih rinci prinsip dan kriteria itu.

Sebelum disahkan, hasil interpretasi nasional tersebut dibahas dalam
berbagai sidang RSPO. Indonesia menyusun 120 indikator, dari delapan
prinsip dan 39 kriteria, yang telah diajukan untuk disetujui sidang
RSPO.

Harus bisa

Mau tidak mau, sebagai produsen 17,8 juta ton CPO, yang 13,5 juta ton
di antaranya diekspor, dan berkontribusi sedikitnya 42 persen terhadap
pasokan CPO internasional, Indonesia harus terus memperbaiki diri. Ini
tidak bisa dihindari karena konsumen kini menuntut produk lestari,
tidak hanya CPO.

Tuntutan produk lestari itu antara lain izin usaha perkebunan di
kawasan hutan produksi tak boleh lagi diterbitkan. Dari 23 juta hektar
kawasan hutan yang diizinkan dikonversi untuk perkebunan pada masa
Orde Baru, baru 2 juta ha yang direalisasikan.

Penggunaan pestisida dan herbisida harus memerhatikan dampak negatif
terhadap pekerja dan kualitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.
Limbah produksi CPO harus diolah sebelum dibuang.

Tingkat kesejahteraan petani dan pekerja perkebunan kelapa sawit pun
turut menjadi perhatian konsumen di pasar dunia.

Seusai mengunjungi pabrik pengolahan kelapa sawit PT Anugerah Langkat
Makmur (ALAM) di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara, Sabtu (23/8), Menteri Pertanian, Lingkungan, dan Pangan
Kerajaan Belanda Gherda Verburg mengapresiasi berbagai kemajuan yang
telah dicapai Indonesia.

”Mereka (petani dan produsen) telah maju selangkah demi selangkah, dan
yang paling penting adalah menyaksikan langsung dengan mata kami
sendiri pengalaman Anda membuat kemajuan (memproduksi CPO lestari).
Saat kembali ke Belanda, saya akan mengajak para pihak di Belanda dan
Eropa berdialog untuk mencegah produsen dan konsumen menyusun kriteria
yang berbeda,” kata Verburg.

Daya tawar petani

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2007 mencapai 6,7 juta
ha. Sebanyak 2,7 juta ha di antaranya milik petani yang dikelola oleh
sedikitnya 2 juta keluarga.

Saat berbicara di depan peserta KUD Rahmat Tani, yang merupakan proyek
plasma bantuan ADB tahun 1980, Verburg mengapresiasi pola kerja sama
yang dibangun petani dengan produsen CPO, yang menyetarakan daya tawar
kedua pihak dalam menetapkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Koperasi Unit Desa Rahmat Tani, yang mengelola PIR ADB beranggotakan
500 keluarga, dan KUD Baja, beranggotakan 243 keluarga, telah memiliki
daya tawar dengan pengusaha sehingga mampu memperoleh harga pembelian
TBS tertinggi.

Kedua koperasi tersebut selama ini memasok TBS ke PT ALAM.

Ketua KUD Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting mengatakan, produksi TBS
mencapai 25.000 ton dengan harga rata- rata Rp 795,15 per kilogram
pada 2006. Tahun 2007 sebanyak 23.223 ton, harga rata-rata Rp 1.369,62
per kg, dan selama semester I-2008 sebanyak 12.000 ton dengan harga
rata-rata Rp 1.990,09 per kg.

Rp 6,8 juta per bulan

Dengan harga yang relatif bagus, maka rata-rata penghasilan bersih
petani Rp 2.279.583 per bulan selama tahun 2006 dan sebanyak Rp
3.914.000 per bulan tahun 2007. Saat harga CPO menyentuh level 1.200
dollar AS per ton selama semester I-2008, rata-rata penghasilan petani
Rp 6.288.333 per bulan.

”Setiap bulan, kami menenderkan penjualan TBS. Jadi, kami hanya
menjual ke pabrik dengan harga pembelian tertinggi,” ujar Ketua KUD
Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting.

Menurut Direktur Utama PT ALAM Musa Rajekshah, pihaknya selalu membeli
TBS petani dengan harga tinggi. Selain itu, ALAM juga merawat
infrastruktur dari kebun petani hingga ke pabrik, yang berjarak
sekitar 100 kilometer ke utara Medan.

”Harga TBS yang baik membuat petani bisa merawat kebunnya.
Infrastruktur yang baik juga memudahkan mereka mengangkut hasil
panennya ke pabrik kami dengan ongkos angkutan yang murah sehingga
penghasilan mereka tetap tinggi. Walau masih memproduksi CPO untuk
pasar domestik, kami sangat memerhatikan prinsip ramah lingkungan,”
katanya

Tidak ada komentar:

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !