Jumat, 05 September 2008

Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

Persatuan Rakyat Kalimantan Barat
Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

"Sejarah Penjajahan Yang Berulang"
Latar Belakang Sistem Perkebunan Skala Besar

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang
penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem
pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian
subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan
ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha
pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya
perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya
dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan
sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh
negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme
agraria yang berkembang di negara - negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh
bangsa - bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda
untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara
dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman
menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya
dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan
rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada
saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir
dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada
tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral
Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari
gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di
wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa
kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan
tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan
tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau
perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori
oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri
mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani
untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib
mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku
dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan
tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil
menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu
ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat.
Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang
didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut
terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya
Undang - Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870
(Agraris Wetch). Undang - Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut
secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia
Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya.
Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang
dikenal dengan kuli kontrak.

Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda,
orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman
pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara - bangsa yang bernama
Republik Indonesia, perkebunan - perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa
tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja
Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada
perusahaan - perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden
Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi
dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh
Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi
dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani,
masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum
sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya
meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah.
Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui
kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan
tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu
undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal.
Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu
konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan
plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara
petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual
hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan
program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada
tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam
skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah
menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara
pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak
mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana
masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain
utama dalam perkebunan.

Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat
pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal,
Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondis Petani Plasma Hari Ini

Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema
antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank
Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana
perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun
1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit
Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal
dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif
pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal
perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak
bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif
(biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir
7,6 juta pada tahun 2007[1] dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target
luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025.
Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton[2] dan pada
tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia
mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh
8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan
milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada
tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 %
pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama
pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui
pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi
Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan
dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang
perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun
perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat - syarat yang harus
terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu
areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam
membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang
ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara
tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang
luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan
cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas
perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam
rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan
masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan
berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas
tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui
kebijakan - kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat
birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang
(Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani
belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan
perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika
menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah
untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau
lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut
bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang
ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani.
Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan
tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum
lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat
tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana
produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang
menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap
anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan
produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS
dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak
dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.

Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman
kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman
tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh
tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk
petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya
menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap
sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di
sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala
macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk
menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak
adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan
dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan
perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun
inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun
inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar
unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah
Tipe Baru.

Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik
usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal)
dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli
penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik
diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan
upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat
rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh
sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat
susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai
10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan
sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan
perkebunan merupakan tuan tanah "tipe baru" baik yang dijalankan oleh
perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah "tipe baru"
digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia
tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih
yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani
berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta
produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit
(Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya) . Jadi, tuan
tanah "tipe baru" dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala
besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani
sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan
mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp.
4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang
sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di
potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar

Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan
tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit (
plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan
petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial
yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut
kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan
perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari
sistem tersebut. Disusul oleh elit - elit yang menjadi parasit yang
diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani
plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh
sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur
berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain
terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu
berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi
langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian
kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya
memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan
ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar

Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit
belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan
lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang
ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum -kaum parasit ditingkat desa
merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar.
Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini
harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar
tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan
mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan
upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan
akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi
petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas
petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut
tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri,
tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan
buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya
adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling
menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah
tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme.
Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas,
menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua
golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum
dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

(PERSATUAN RAKYAT KALIMANTAN BARAT)

AGRA, SERIKAT TANI SERUMPUN DAMAI (STSD), SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
(SPKS), UP Link, Lembaga GEMAWAN, WALHI Kalbar, FMN

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

[1] Data Sawit watch 2007

[2] Data Ekspor CPO GAPKI tahun 2006, sedangkan data eksport CPO pada tahun
2007 semester 1 (Juni 2007) masih berada pada kisaran 5,52 ton

Tidak ada komentar:

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !