Sabtu, 21 Maret 2009

Revisi Tata Ruang Riau Terhadang Kepentingan Kabupaten

Rabu, 18 Maret 2009 16:36
Tata Ruang Provinsi Riau sudah mendesak direvisi, namun prosesnya berjalan lambat, karena terhadang kepentingan kabupaten dan kota.

Riauterkini-PEKANBARU-Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)Riau yang sudah berlangsung sejak 2001 lalu hingga kini tak kunjung usai. Pasalnya begitu banyak kepentingan kabupaten/kota di Riau terhadap peruntukan hutan di wilayahnya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf di Pekanbaru, Rabu, (18/3) kepada wartawan mengatakan masih sangat sulit untuk memaduserasikan antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dimiliki Pemerintah Pusat dengan RTRWP Riau. Oleh karena itu Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur termasuk Provinsi yang hingga belum memiliki RTRWP. "Banyak daerah kabupaten/kota yang tidak menginginkan kawasan hutan ada di wilayah mereka. Ini yang membuat sulit sekali memaduserasikan antara TGHK dan RTRWP," kata Zulkifli.

Ia mencontohkan Kabupaten Kuantan Singingi yang menolak kawasan hutan lindung berada di daerahnya. Dan meminta kawasan hutan masuk ke daerah tetangganya Kabupaten Indragiri Hulu. Begitupun dengan Kabupaten Kampar yang meminta kawasan hutan lindung dan konservasi dimasukkan ke Kabupaten Pelalawan atau Rokan Hulu.

Ini semua terjadi karena keberadaan hutan lindung yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat tersebut semakin memperkecil kemampuan daerah memperluas peruntukan wilayahnya. "Misalnya lagi Kota Dumai yang hanya 30% dari luas wilayahnya dapat dipergunakan untuk pengembangan. Selebihnya sudah merupakan wilayah konsesi perusahaan perkebunan serta peruntukan hutan lindung dan konservasi," jelas Zulkfili.

Tapi masalah ini tidak akan pernah selesai jika kabupaten/kota mempertahankan egonya masing-masing dalam mengelola wilayahnya. Karena harus dipahami daerahlah yang harus menyesuaikan pengembangan kawasannya dengan TGHK.

"TGHK itu ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan sejak 1986. Sedangkan RTRWP Riau ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 1994. Dan kabupaten sendiri yang harus menyesuaikan peruntukan pengembangan kawasannya agar tidak tumpang tindih dengan TGHK," jelas Zulkifli.

Kawasan hutan baik yang berstatus lindung, konservasi, taman nasional, ataupun suaka margasatwa seperti yang tercantum dalam peta TGHK tidak bisa dikutak kutik atau dialihfungsikan oleh kabupaten/kota. Pengalihan status hanya bisa dilakukan atas persetujuan DPR apakah status kawasan hutan tersebut bisa dilepaskan menjadi kawasan non hutan. "Semuanya harus sesuai prosedur bila daerah ingin kawasan hutan yang ada dilepaskan untuk pengembangan wilayahnya," jelasnya.




Berita lainnya..........

55 Warga Riau dan 15 Ekor Harimau Tewas

Rabu, 18 Maret 2009 16:54
12 Tahun Berkonflik,

Konflik antara warga Riau dan harimau sudah berlangsung sangat panjang. Selama 12 tahun tercatat 55 warga Riau meninggal dunia. Sementara harimau yang terbunuh 15 ekor.

Riauterkini-PEKANBARU- Kurun waktu 12 tahun terakhir ini (1997-2009), di Riau, 55 orang dan 15 ekor harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) telah terbunuh akibat konflik. Menurut LSM yang melakukan investigasi kejahatan kehutanan dan konflik di provinsi bagian tengah Sumatera, Eyes on the Forest, tercatat 17 harimau telah ditangkap dan dipindahkan dari hutan habitatnya.

Senepis, Kerumutan, Semenanjung Kampar dan hutan gambut lainnya di Riau merupakan habitat penting bagi harimau Sumatera, juga merupakan cadangan karbon global. Dengan adanya lahan gambut yang sangat dalam dan kaya karbon, maka hanya dengan menebang pohonnya atau merusak lahan tanahnya saja akan menimbulkan emisi karbon yang cukup signifikan dan berdampak bagi perubahan iklim global.

Data EoF mengatakan bahwa hilangnya habitat hutan alam di Riau terjadi sejak 1982 hingga 2007. 24 persennya telah dibuka atau digantikan oleh hutan tanaman kayu pulp dan 29 persen lagi dibuka atau digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.

“Dengan hilangnya habitat hutan, harimau tak memiliki tempat untuk mencari makan dan bersembunyi. Dalam sebulan terakhir saja, empat ekor harimau mati terbunuh di Riau. Saat ini terdapat kurang dari 400 ekor harimau Sumatera saja yang hidup di alam dan itu artinya setiap harimau yang mati merupakan kehilangan yang sangat signifikan bagi bertahannya populasi satwa langka tersebut,” kata Direktur Program Kehutanan dari WWF-Indonesia, Ian Kosasih kepada Riauterkini Rabu (18/3/09).

Koordinator Jikalahari, Susanto Kurniawan mengatakan bahwa sedikitnya, 147 dari 242 kasus atau 60% dari seluruh konflik Harimau Sumatera-Manusia di Propinsi Riau terjadi di lansekap Senepis. Yaitu wilayah ekspansi dan penebangan hutan alam di lima konsesi APP khususnya sejak 1999. Uniknya, tiga di antaranya belum memiliki izin definitif dari Departemen Kehutanan.

“Lucunya, APP justru membuat pernyataan publik jika mereka sedang menginisiasi konservasi harimau di kawasan Senepis. Kenyataannya mereka justru membahayakan keamanan masyarakat setempat dan mendorong harimau semakin dekat menuju kepunahan. APP menghancurkan hutan-hutan dan satwa liar,” tandasnya. ***(H-we)

Membiarkan Masyarakat Mati Diinjak Gajah



Minggu, 15 Maret 2009 , 09:19:00

GAJAH MATI DIRACUN: Kawanan gajah ini mati diracun oleh manusia.(ISTIMEWA)
Masyarakat di Kecamatan Mandau dan Pinggir, Kabupaten Bengkalis harus bersiap-siap dan bersiaga penuh agar tidak mati diinjak gajah seperti almarhum Ronald Silalahi (Juli 2008) dan Jalinus (Maret 2009). Pasalnya sampai saat ini, masing-masing pihak masih saling tunjuk pihak mana yang harus mengakhiri tragedi kematian diinjak gajah tersebut.

Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru

Kawasan barat Kabupaten Bengkalis, tepatnya di Kecamatan Mandau dan kecamatan pemekarannya yakni Kecamatan Pinggir, telah lama diketahui sebagai habitat utama gajah. Itulah sebabnya pada tahun 1980-an di kawasan itu ditetapkan dua kawasan konservasi untuk gajah oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pertama, Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, dikukuhkan pada tahun 1986 dengan luas 18 ribu hektare. Kedua, Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga Duri dikukuhkan tahun 1992 dengan luas 5.873 hektare.

Entah bagaimana ceritanya kemudian, kedua kawasan konservasi itu kini hanya tinggal nama. Data WWF menyebutkan SM Balai Raja dari 18 ribu hektare kini hanya tinggal 132 hektare. Data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) menyatakan Pemerintah Bengkalis telah membangun kantor camat, kantor lurah, dan berbagai fasilitas umum lainnya serta mengizinkan perkebunan sawit di atas areal SM Balai Raja tersebut. Sementara PLG Sebanga Duri terpaksa hengkang dari tempat tersebut setelah dirambah dan akhirnya dibakar masyarakat. Penghuni PLG itu saat ini menumpang di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) dan kerap dikenal dengan nama PLG Minas.

Sejak kedua kawasan konservasi gajah di tempat itu dimusnakan secara sengaja atau pun tidak sengaja oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis maupun masyarakatnya, gajah-gajah di tempat tersebut mulai sering bergentayangan di kedua kecamatan tersebut. Kadang hanya sekadar memakan tanaman pertanian warga, namun tak jarang juga mengobrak-abrik rumah warga. Bahkan beberapa tahun terakhir mulai menginjak-injak tubuh manusia hingga meninggal, seperti nasib Ronald dan Jalinus. Bahkan korban terakhir jasad Jalinus sempat dilumat dan organ tubuhnya tak lagi berbentuk.

Tiap kali konflik di kawasan ini terjadi, saling tunjuk siapa yang harus menanggulangi konflik tersebut. Ada yang menunjuk BBKSDA. Misalnya Anggota DPRD Bengkalis H Arwan Mahidin saat kematian Jalinus mengungkapkan Dinas Kehutanan dan pihak BBKSDA Riau tidak bisa lagi tutup mata dengan persoalan itu. “BKSDA harus membuka pos di Balai Makam atau tempat lain yang menjadi sasaran gajah. Mereka pun hendaknya menggelar patroli rutin. Kita juga mempertanyakan kasus lahan PLG Sialang Rimbun (Sebanga Duri),” tegasnya.

Selanjutnya Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bengkalis Darmawi. Dalam penanggulangan konflik Dinas Kehutanan akan bekerja sama dengan BKSDA Riau dalam menanggulangi hal ini. “Pasalnya, penanganan gajah itu adalah wewenang dan bidang tugas BBKSDA,” ujarnya.

Harapan yang sama juga dikemukakan oleh Gubernur Riau HM Rusli Zainal. ‘’Harus ada program prioritas untuk mengatasinya. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, bagaimana melakukan pemetaan keberadaan gajah yang ada di Riau dibandingkan dengan ketersediaan lahan yang ada. Kedua, mencari alternatif solusi dan ini harus dikoordinasikan secara intensif dengan BKSDA. BKSDA harus menjadi leader untuk dapat membuat program-program guna mengatasi konflik yang terjadi, akan tetapi upaya ini harus dilakukan secara berkelanjutan,’’ ungkap gubernur.

Sementara Rachman Sidik, Kepala BBKSDA menilai konflik yang terjadi itu karena Pemerintah Kabupaten Bengkalis lah yang telah menghilangkan habitat gajah. “Konflik yang terjadi karena habitat mereka kita ganggu. Bayangkan di Balai Raja itu sudah jelas sebagai kawasan Suaka Margasatwa, tapi perusahaan berdiri di sana, kantor camat ada disana, padahal sampai saat ini belum ada penglepasan kawasan itu dijadikan sebagai kawasan perkebunan atau pemukiman,’’ tutur Rachman, awal pekan ini.

Rahman mengaku meskipun tidak ingin mempersalahkan siapapun, namun tetap menegaskan bahwa lahan di kawasan konservasi gajah tersebut masih status kawasan konservasi. “18.000 hektare lahan di sana, termasuk yang sekarang didirikan pabrik kelapa sawit, perkebunan, pemukiman warga, perkantoran, semuanya merupakan kawasan hutan habitatnya gajah tersebut dan setahu saya, kawasan tersebut belum dilakukan pelepasan,” ujarnya.

Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Nur Hidayat, Direktur Konservasi Kawasan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Menurutnya daerah harus bertanggung jawab atas perubahan fungsi kawasan tersebut. Dia akan meminta BBKSDA untuk memproses hal tersebut. “Untuk merubah fungsi kawasan harus melibatkan tim terpadu. Harus dilakukan check lapangan. Apakah perubahan fungsi legal atau tidak,” ujarnya.

Sementara Wakil Bupati (Wabup) Bengkalis Normansyah Abdul Wahab Rabu (11/3) di Bengkalis, membantah persepsi amuk gajah ini akibat pembangunan pusat perkantoran Camat Pinggir, Kantor Desa Pinggir di simpang Balai Makam sehingga terusiknya habitat kawanan gajah liar tersebut.

“Kita ingin persoalan amuk gajah ini segera selesai. Untuk itu, kita sudah berkoordinasi dengan BBKSDA Provinsi Riau. Soal bagaimana teknis penanganan terhadap kawanan gajah liar tersebut BBKSDA lebih berkompeten. Mereka memiliki peralatan dan tim teknis penjinak, jadi lebih tahu. Pemkab Bengkalis tetap mendukung penuh upaya tersebut. Hanya saja kalau amuk gajah ini akibat rusaknya habitat kawasan gajah karena pembangunan kantor camat, kantor lurah dan harus dipindah itu tidak mungkin,” ujar Wabup.

Sebenarnya dalam catatan Riau Pos statement saling tunjuk siapa yang bertanggungjawab dan berakhir tanpa solusi itu sudah hal berulang dari tahun ke tahun. Seperti tengah membiarkan masyarakat mati diinjak gajah.(ndi/bud/gem/rus/sda)

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !