Jumat, 05 September 2008

DEKLARASI

KPK – N (KOMITE PENYELAMAT KEKAYAAN NEGARA)

Kami anak-anak Ibu Pertiwi,
adalah pewaris yang syah negeri ini.
Negeri yang dalam hikayat lama
disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Negeri yang dalam dongeng anak-anak
dikisahkan gemah ripah loh jinawi.
Subur, makmur dan sentosa

Karena diatas negeri ini,
hutan nan luas terhampar, berbagi jenis palawija
berebut tumbuh saling menyentuh.
Di bawahnya, Tuhan menyimpan Minyak, gas, timah,
tembaga, bahkan emas dan uranium serta platina.

Suatu saat nanti, bila kami sudah dewasa,
sudah memiliki pengetahuan, akal budi dan tatakrama,
bisa mengambilnya sedikit demi sedikit.

Ya, sedikit demi sedikit, supaya anak-anak kami,
cucu-cucu kami, buyut-buyut kami,
bisa juga menikmati karunia Illahi ini.

Memanfaatkannya demi kesejahteraan semua.

Tapi selama ratusan tahun, kami, bangsa Indonesia,
tidak pernah sungguh-sungguh mencicipi
nikmat persembahan Tuhan itu.

Bukan karena kami tak kunjung dewasa,
bukan juga karena kami tak punya pengetahuan
untuk menggali dan memroses karunia Illahi ini.

Tapi karena mereka, para penguasa negara,
yang kami percaya untuk menjaga dan mengelola kekayaan itu,
hanyut dan dilambungkan gelombang birahi kekuasaan.

Mereka malah berkomplot dengan tuan-tuan dari negeri asing,
merompak kekayaan itu, sehingga alpa membaginya
kepada kami,

Soekarno – Hatta memang sudah memprokalamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 63 tahun lalu.

Tapi hanyalah awal lembaran sejarah Republik Indonesia,
dan bukan pertanda berkhirnya kolonialisme,
bukan pula berakhirnya penguasa sumber daya alam kita
oleh bangsa asing.

Padahal sebagai bangsa yang merdeka
kita dibekali Undang-Undang Dasar 1945
yang didalamnya ada pasal yanmg bilang :

"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara"

dibawahnya ada pasal lain, yang kalau dibaca berbunyi :

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Tapi kenapa ayat-ayat Konstitusi itu hingga negara umur 63, tak kunjung terlaksana?

Apakah karena di pasal itu tidak dijelaskan "negara mana" sehingga "kemakmuran rakyat" pun jadi tak jelas alamatnya?

Atau jangan-jangan mereka, para penyelenggara negara itu, tumpul budaya sampai-sampai tak paham soal bahasa.

Sekarang, setelah 100 tahun Boedi Utomo memaklumatkan Kebangkitan Nasional, 80 tahun setelah Pemuda Indonesia bersumpah yang satu (satu nusa, satu bangsa, satu bahasa).

63 tahun setelah merah putih resmi dikibarkan di antero Nusantara dan reformasi memasuki umur 10,
kami, mayoritas bangsa Indonesia, tetap miskin terpuruk :

miskin
karena distrukturkan dalam peta kemiskinan

bodoh
karena rumah-rumah pendidikan sulit diakses,

penyakitan
karena untuk ongkos sehat mahal.
Kini tak sedkit saudara kami
yang lebih memilih Jalan Hirakiri
justru setelah membunuh anak-anaknya.
Mungkin agar anak-anak mereka
tak lama-lama hidup sengsara di Negeri Surga.

O, anak-anak yang malang,
negeri Tuhan yang anugerahkan kepada kita,
memang didesain seperti surga,
untuk kita nikmati dengan rasa syukur.

Tapi mereka yang telah kita beri kepercayaan,
mengubahnya menjadi surga
hanya untuk mereka sendiri.

Oleh sebab itu, pada hari ini, ditempat ini,
dengan Rahmat Tuhan Maha Bijaksana,
sambil mengepalkan tangan dan meninju langit,
kami pekikkan kemarahan kami,

kami nyatakan pada dunia :

"Kami sudah bersatu padu untuk menyelamatkan

kekayaan negara kami, dengan sepenuh kemampuan

yang kami miliki, sebagai amanat konstitusi,

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat :

Rakyat Indonesia..!"


Jakarta, 28 Juli 2008

Atas nama Deklarator :

Adhie M Massardi Marwan Batubara

Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

Persatuan Rakyat Kalimantan Barat
Pandangan Umum Tentang Sistem Perkebunan Skala Besar

"Sejarah Penjajahan Yang Berulang"
Latar Belakang Sistem Perkebunan Skala Besar

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang
penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem
pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian
subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan
ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha
pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya
perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya
dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan
sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh
negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme
agraria yang berkembang di negara - negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh
bangsa - bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda
untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara
dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman
menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya
dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan
rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada
saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir
dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada
tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral
Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari
gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di
wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa
kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan
tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan
tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau
perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori
oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri
mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani
untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib
mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku
dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan
tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil
menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu
ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat.
Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang
didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut
terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya
Undang - Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870
(Agraris Wetch). Undang - Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut
secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia
Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya.
Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang
dikenal dengan kuli kontrak.

Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda,
orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman
pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara - bangsa yang bernama
Republik Indonesia, perkebunan - perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa
tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja
Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada
perusahaan - perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden
Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi
dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh
Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi
dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani,
masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum
sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya
meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah.
Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui
kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan
tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu
undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal.
Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu
konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan
plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara
petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual
hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan
program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada
tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam
skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah
menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara
pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak
mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana
masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain
utama dalam perkebunan.

Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat
pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal,
Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondis Petani Plasma Hari Ini

Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema
antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank
Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana
perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun
1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit
Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal
dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif
pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal
perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak
bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif
(biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir
7,6 juta pada tahun 2007[1] dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target
luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025.
Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton[2] dan pada
tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia
mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh
8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan
milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada
tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 %
pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama
pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui
pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi
Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan
dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang
perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun
perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat - syarat yang harus
terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu
areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam
membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang
ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara
tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang
luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan
cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas
perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam
rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan
masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan
berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas
tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui
kebijakan - kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat
birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang
(Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani
belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan
perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika
menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah
untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau
lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut
bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang
ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani.
Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan
tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum
lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat
tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana
produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang
menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap
anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan
produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS
dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak
dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.

Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman
kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman
tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh
tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk
petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya
menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap
sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di
sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala
macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk
menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak
adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan
dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan
perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun
inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun
inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar
unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah
Tipe Baru.

Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik
usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal)
dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli
penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik
diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan
upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat
rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh
sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat
susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai
10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan
sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan
perkebunan merupakan tuan tanah "tipe baru" baik yang dijalankan oleh
perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah "tipe baru"
digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia
tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih
yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani
berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta
produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit
(Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya) . Jadi, tuan
tanah "tipe baru" dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala
besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani
sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan
mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp.
4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang
sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di
potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar

Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan
tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit (
plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan
petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial
yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut
kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan
perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari
sistem tersebut. Disusul oleh elit - elit yang menjadi parasit yang
diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani
plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh
sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur
berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain
terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu
berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi
langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian
kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya
memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan
ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar

Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit
belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan
lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang
ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum -kaum parasit ditingkat desa
merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar.
Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini
harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar
tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan
mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan
upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan
akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi
petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas
petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut
tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri,
tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan
buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya
adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling
menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah
tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme.
Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas,
menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua
golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum
dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

(PERSATUAN RAKYAT KALIMANTAN BARAT)

AGRA, SERIKAT TANI SERUMPUN DAMAI (STSD), SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
(SPKS), UP Link, Lembaga GEMAWAN, WALHI Kalbar, FMN

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

[1] Data Sawit watch 2007

[2] Data Ekspor CPO GAPKI tahun 2006, sedangkan data eksport CPO pada tahun
2007 semester 1 (Juni 2007) masih berada pada kisaran 5,52 ton

Pengusaha Tolak Moratorium Sawit

Pengusaha Tolak Moratorium Sawit
Secara Internal Telah Dilakukan Pemerintah
Rabu, 27 Agustus 2008 | 01:25 WIB

Jakarta, Kompas - Industri kelapa sawit menolak tawaran jeda sementara
pembukaan lahan gambut seperti ditawarkan Greenpeace Asia Tenggara. Prinsip
dan kriteria sawit berkelanjutan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil
atau RSPO dinilai cukup untuk mewujudkan industri kelapa sawit ramah
lingkungan.

Demikian dikatakan Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki)
Derom Bangun dalam pertemuan yang digagas Greenpeace Asia Tenggara di
Jakarta, Selasa (26/8). Pertemuan dihadiri pebisnis kelapa sawit, pengguna
minyak sawit, dan LSM.

Jeda sementara (moratorium) pembukaan lahan gambut dinilai Greenpeace
penting dan mendesak dilakukan di tengah lemahnya tata kelola pemerintah.
Moratorium kelapa sawit dinilai berpotensi memberi solusi, selain karena
membutuhkan lahan luas, juga bersifat dinamis.

"Kami tidak perlu ikut moratorium, yang penting menjaga kelestarian alam
dengan prinsip- prinsip RSPO," kata Derom kepada wartawan. Ia meminta
seluruh anggota Gapki-250 perusahaan-mengikut i aturan RSPO yang berdimensi
sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Ruang lingkup moratorium gagasan Greenpeace, di antaranya, mencakup semua
kawasan yang telah keluar izin dan hak guna usahanya, tetapi belum ditanami.
Penerapannya, tidak membuka vegetasi, tak ada perluasan, tidak membuka
sarana-sarana lain.

Adapun prinsip RSPO, di antaranya, antipembukaan lahan dengan membakar,
pengawasan perlindungan lingkungan, mengolah limbah, mengurangi pupuk,
menghormati hak-hak adat, dan berkontribusi pada pembangunan lokal.

Di lapangan, seperti diungkapkan Arifin, pembicara dari Serikat Tani Kelapa
Sawit (STKS), hak- hak adat dan petani sering diabaikan pengusaha. Pembinaan
amat minim dan petani/masyarakat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan
perusahaan.

"RSPO justru mensyaratkan persatuan organisasi petani yang solid. Di
antaranya mampu mengadakan pertemuan-pertemuan reguler untuk menerima
berbagai pelatihan," kata Desi Kusumadewi dari RSPO Indonesia Liaison
Officer.

Seperti diakui Derom, hingga kini belum ada satu pun perusahaan kelapa sawit
Indonesia yang menerima sertifikat RSPO. "Paling cepat baru dua atau tiga
bulan mendatang karena keterbatasan tenaga audit," kata salah satu wakil
ketua RSPO itu.

Sikap pemerintah

Menanggapi seruan moratorium itu, Direktur Jenderal Perkebunan Departemen
Pertanian Achmad Mangga Barani mengatakan, secara internal hal itu mereka
terapkan. Desember 2007, Mentan mengeluarkan surat berisi permintaan agar
gubernur dan bupati tak mengeluarkan izin pembukaan lahan gambut untuk
perkebunan. "Kami akan uji publik dulu, hasilnya Oktober 2008 mendatang,"
kata dia.

Mangga Barani enggan mengungkapkan isi kajian itu. Pihak Deptan akan membuat
peta per pulau, termasuk menentukan lokasi-lokasi lahan gambut yang boleh
dibuka dan yang tidak.

"Tidak mungkin kalau tak boleh sama sekali, yang penting bagaimana tetap
memanfaatkan, tapi keinginan dunia tetap terpenuhi," tutur dia.

Penasihat politik Greenpeace Asia Tenggara Arief Wicaksono menolak anggapan
pihaknya anti-industri sawit. Ajakan moratorium justru untuk keberlanjutan
industri itu sendiri.

"Sebaiknya, industri apa pun jangan menangguk laba dari lemahnya tata
kelola," katanya. Di tengah lemahnya tata kelola, industri kelapa sawit
dinilai menjadi salah satu faktor penting deforestasi/ perubahan iklim di
Indonesia. (GSA)

Perjanjian Pinjaman Climate Change Ditandatangani

Perjanjian Pinjaman Climate Change Ditandatangani
02-Sep-2008 | 09:31

02/09/08 17:21
Jakarta (ANTARA News) - Departemen Keuangan mengungkapkan, perjanjian pinjaman (loan agreement) terkait perubahan iklim (climate change) dari pemerintah Jepang sebesar 300 juta dolar AS akan ditandatangani pada Rabu (3/9) besok."Tapi pencairannya baru dilakukan pada sekitar triwulan keempat disesuaikan dengan posisi `cash` pemerintah. Sekarang kan masih surplus dalam jumlah besar," kata Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu, Rahmat Waluyanto, di Jakarta, Selasa.

Pinjaman tersebut akan menjadi bagian dari pinjaman program pemerintah untuk menutupi defisit anggaran pada 2008 yang diperkirakan mencapai 1,6-1,7 persen. Pemerintah menargetkan penarikan pinjaman program secara keseluruhan pada tahun ini bisa mencapai sekitar 2,6 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Jurubicara Deplu, Teuku Faizasyah mengatakan, pemerintah Indonesia kemungkinan akan diwakili Dubes Indonesia untuk Pemerintah Jepang dalam penandatanganan tersebut.

Pinjaman yang diberikan tersebut akan menggunakan tingkat bunga 0,15 persen per tahun dengan masa pinjaman 15 tahun.

Penandatangan "Loan Agreement" itu akan menjadi puncak dari proses panjang yang diawali dari pertemuan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhyono dan PM Fukuda pada KTT G8 Juli lalu di Hokkaido, Jepang.

Pinjaman yang diberikan melalui mekanisme pembiayaan luar negeri bernama "Cool Earth Partnership" itu sendiri bertujuan membantu Indonesia mengembangkan kebijakan mengatasi perubahan iklim.

Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat kemampuan dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim. Bantuan juga sebagai respon terhadap pendekatan sektoral yang banyak mempengaruhi terhadap perubahan iklim. Sektor yang difokuskan antara lain sektor kehutanan, energi, perindustrian, dan manajemen pengadaan air.

Sektor kehutanan diarahkan kepada tuntutan mekanisme pasar terbaru yang bertujuan mengurangi kerusakan hutan. Peningkatan kapasitas sektor kehutanan dalam penyerapan CO2, serta mencegah kebakaran hutan.

Di sektor energi, diarahkan untuk mendorong peningkatan kapasitas pembangunan energi geothermal menjadi 9.500 megawatt, pembuatan UU energi yang relevan, dan penciptaan iklim investasi yang sejalan dengan kebijakan pengembangan energi terbarukan, berikut upaya konservasi energi lainnya.(*)

COPYRIGHT © 2008
Source:ANTARA

Sertifikasi LEI pada diamond Di SUSPEND...!!!

Perkembagan Sertifikasi PHAPL 2008
27 Juni 2008

Dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2008, proses sertifikasi LEI untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) telah diterapkan di berbagai daerah atas sejumlah unit manajemen.

Sejauh ini 5 ( lima ) unit manajemen berbasis hutan alam produksi yang telah lulus sertifikasi LEI yaitu :

  1. PT. DIAMOND RAYA TIMBER
  2. PT. INTRACAWOOD MANUFACTURING
  3. PT. SARI BUMI KUSUMA Unit Seruyan
  4. PT. ERNA DJULIAWATI
  5. PT. SUMALINDO LESTARI JAYA UNIT II

Langkah ini diikuti oleh unit manajemen lain berbasis hutan alam produksi, yaitu :

1. PT. Sarmiento Parakanca Timber (Sarpatim), Kalimantan Tengah, sedang dalam proses menempuh sertifikasi bertahap.

Untuk memperkuat rekognisi pasar atas produk hutan tanaman yang berlogo LEI, LEI melaksanakan program promosi sebagai berikut :

  1. Pernyataan-pernyata an di media massa terkait dengan Green Products yang mulai diminta oleh pasar Eropa dan Amerika.
  2. Iklan di Inflight Magazine Garuda Indonesia 2007 atas keluarnya produk furniture yang berbahan baku lestari bersertifikasi LEI.
  3. Mempromosikan LEI dan produknya di Asmindo Pavillion pada Pameran Produk Ekspor 2007, Jakarta International Expo.
  4. Mempromosikan LEI dan dan produknya (baik jasa maupun produk bersertifikat LEI) di Green Pavillion pada Pameran IFFINA 2008, Jakarta International Expo.

Untuk menjaga kredibilitas sistem sertifikasi LEI dalam mendorong praktek pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, maka Lembaga Sertifikasi LEI PT. Mutu Agung Lestari telah menahan (suspend ) sertifikat PT. Diamond Raya Timber, Riau.

Wahh, Utang Indonesia Rp 1.462 Triliun!

Wahh, Utang Indonesia Rp 1.462 Triliun!
Sumber: Kompas
Selasa, 2 September 2008 | 10:04 WIB


JAKARTA, SELASA - Jangan-jangan, Anda tidak bisa tidur jika melihat kenyataan bahwa utang negara kita ternyata amat besar. Hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun!

Adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan (Depkeu) yang baru-baru ini merilis perkembangan utang negara sejak 2000 hingga 31 Juli 2008. Total utang negara ini terdiri dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Surat Utang Negara (SUN).

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto lantas memerinci jumlah utang luar negeri adalah Rp 568 triliun atau 62,3 miliar dollar AS sedangkan SUN senilai Rp 894 triliun. Lebih separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka tersebut, 40 persen adalah utang dari Jepang.

Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.

Yang penting, ungkap Rahmat, Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Rasio ini pada 2000 sebesar 88 persen dan kini tinggal 34 persen saja. "Memang secara nominal terus meningkat tapi jumlah itu masih manageable," kata Rahmat, Senin (1/9).

Selain itu, Rahmat juga meminta masyarakat melihat semakin berkurangnya utang luar negeri baru. Saat ini, tambahan neto utang luar negeri sejak 2005 itu selalu negatif. "Artinya, pembayaran utang selalu lebih besar daripada utang baru," kata Rahmat. Tahun ini, hingga Juli 2008, pemerintah telah membayar bunga dan biaya utang luar negeri sebesar 1,292 miliar dollar AS.

Awasi penggunaan utang
Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengakui keberhasilan pemerintah menata utang. Ini terlihat dari beberapa rasio utang, baik terhadap PDB, rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa, rasio utang terhadap kesinambungan fiskal, dan upaya menjaga profil maturity utang. "Semuanya relatif masih oke," kata Anton.

Yang penting, dalam berutang, pemerintah harus mempertimbangkan alokasi penggunaan, termasuk menutup tingginya kebocoran utang. Meski begitu, dia berharap pemerintah tidak alergi tapi juga tidak lantas jorjoran berutang. Kalau memang utang itu bunganya rendah dan mampu meningkatkan kapasitas produksi perekonomian, kenapa tidak berutang" kata Anton.
(Arief Ardiansyah)

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai

Kelapa Sawit, Perjuangan Berat Telah Dimulai
Kamis, 28 Agustus 2008 | 00:52 WIB
Oleh Hamzirwan


Di tengah pro-kontra yang terjadi, nilai ekspor minyak kelapa sawit
mentah atau CPO tumbuh 137 persen pada semester I-2008 dibanding
periode yang sama 2007. Selain faktor harga, kenaikan volume ekspor
33,6 persen juga turut berperan. Bahkan, pemerintah menargetkan
penerimaan bea keluar CPO 2008 mencapai Rp 9 triliun.

Walau angka-angka itu sungguh menggiurkan, sebaiknya jangan dulu
bergembira. Perjuangan berat industri CPO nasional baru dimulai.
Konsumen kini kian kuat menuntut proses produksi yang ramah lingkungan
atau lestari.

Seiring dengan itu, produsen, konsumen, dan LSM lingkungan hidup pun
membentuk Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on
Sustainable Palm Oil/RSPO) sejak tahun 2003 untuk membangun komitmen
produksi CPO lestari.

RSPO menyusun delapan prinsip dan 39 kriteria sebagai panduan bagi
para pemangku kepentingan minyak kelapa sawit. Setiap negara diberi
kebebasan menerjemahkan lebih rinci prinsip dan kriteria itu.

Sebelum disahkan, hasil interpretasi nasional tersebut dibahas dalam
berbagai sidang RSPO. Indonesia menyusun 120 indikator, dari delapan
prinsip dan 39 kriteria, yang telah diajukan untuk disetujui sidang
RSPO.

Harus bisa

Mau tidak mau, sebagai produsen 17,8 juta ton CPO, yang 13,5 juta ton
di antaranya diekspor, dan berkontribusi sedikitnya 42 persen terhadap
pasokan CPO internasional, Indonesia harus terus memperbaiki diri. Ini
tidak bisa dihindari karena konsumen kini menuntut produk lestari,
tidak hanya CPO.

Tuntutan produk lestari itu antara lain izin usaha perkebunan di
kawasan hutan produksi tak boleh lagi diterbitkan. Dari 23 juta hektar
kawasan hutan yang diizinkan dikonversi untuk perkebunan pada masa
Orde Baru, baru 2 juta ha yang direalisasikan.

Penggunaan pestisida dan herbisida harus memerhatikan dampak negatif
terhadap pekerja dan kualitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.
Limbah produksi CPO harus diolah sebelum dibuang.

Tingkat kesejahteraan petani dan pekerja perkebunan kelapa sawit pun
turut menjadi perhatian konsumen di pasar dunia.

Seusai mengunjungi pabrik pengolahan kelapa sawit PT Anugerah Langkat
Makmur (ALAM) di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara, Sabtu (23/8), Menteri Pertanian, Lingkungan, dan Pangan
Kerajaan Belanda Gherda Verburg mengapresiasi berbagai kemajuan yang
telah dicapai Indonesia.

”Mereka (petani dan produsen) telah maju selangkah demi selangkah, dan
yang paling penting adalah menyaksikan langsung dengan mata kami
sendiri pengalaman Anda membuat kemajuan (memproduksi CPO lestari).
Saat kembali ke Belanda, saya akan mengajak para pihak di Belanda dan
Eropa berdialog untuk mencegah produsen dan konsumen menyusun kriteria
yang berbeda,” kata Verburg.

Daya tawar petani

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2007 mencapai 6,7 juta
ha. Sebanyak 2,7 juta ha di antaranya milik petani yang dikelola oleh
sedikitnya 2 juta keluarga.

Saat berbicara di depan peserta KUD Rahmat Tani, yang merupakan proyek
plasma bantuan ADB tahun 1980, Verburg mengapresiasi pola kerja sama
yang dibangun petani dengan produsen CPO, yang menyetarakan daya tawar
kedua pihak dalam menetapkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Koperasi Unit Desa Rahmat Tani, yang mengelola PIR ADB beranggotakan
500 keluarga, dan KUD Baja, beranggotakan 243 keluarga, telah memiliki
daya tawar dengan pengusaha sehingga mampu memperoleh harga pembelian
TBS tertinggi.

Kedua koperasi tersebut selama ini memasok TBS ke PT ALAM.

Ketua KUD Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting mengatakan, produksi TBS
mencapai 25.000 ton dengan harga rata- rata Rp 795,15 per kilogram
pada 2006. Tahun 2007 sebanyak 23.223 ton, harga rata-rata Rp 1.369,62
per kg, dan selama semester I-2008 sebanyak 12.000 ton dengan harga
rata-rata Rp 1.990,09 per kg.

Rp 6,8 juta per bulan

Dengan harga yang relatif bagus, maka rata-rata penghasilan bersih
petani Rp 2.279.583 per bulan selama tahun 2006 dan sebanyak Rp
3.914.000 per bulan tahun 2007. Saat harga CPO menyentuh level 1.200
dollar AS per ton selama semester I-2008, rata-rata penghasilan petani
Rp 6.288.333 per bulan.

”Setiap bulan, kami menenderkan penjualan TBS. Jadi, kami hanya
menjual ke pabrik dengan harga pembelian tertinggi,” ujar Ketua KUD
Rahmat Tani Muhammad Yunus Ginting.

Menurut Direktur Utama PT ALAM Musa Rajekshah, pihaknya selalu membeli
TBS petani dengan harga tinggi. Selain itu, ALAM juga merawat
infrastruktur dari kebun petani hingga ke pabrik, yang berjarak
sekitar 100 kilometer ke utara Medan.

”Harga TBS yang baik membuat petani bisa merawat kebunnya.
Infrastruktur yang baik juga memudahkan mereka mengangkut hasil
panennya ke pabrik kami dengan ongkos angkutan yang murah sehingga
penghasilan mereka tetap tinggi. Walau masih memproduksi CPO untuk
pasar domestik, kami sangat memerhatikan prinsip ramah lingkungan,”
katanya

Walhi Kritik GAPKI

Walhi Kritik GAPKI

PALANGKA RAYA- [Kalteng Pos], Sikap Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) Kalteng yang belum bersedia menandatangani hasil Rapat
Koordinasi Perkebunan yang diselenggarakan Pemprov Kalteng, menuai kritik.
Sikap GAPKI menurut Walhi Kalteng sebagai cermin bahwa pengusaha besar
perkebunan tak punya komitmen untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.

" Di satu sisi ada niat baik dari pemerintah untuk melindungi sekaligus
berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun rupanya niat itu tak
disambut baik oleh pengusaha besar perkebunan," ujar Direktur Walhi Kalteng
Satriadi.

Sikap ini menurut Satriadi, merupakan bentuk pembangkangan atau
pelecehan pengusaha terhadap keputusan Bupati, gubernur, bahkan menteri.
Karena keputusan mengalokasikan 20 persen untuk kebun rakyat atau plasma itu
berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No.26 tahun 2007, yang kemudian
disepakati dalam rakor perkebunan Kalteng.

Satriadi minta Pemda untuk tak lemah atau pun gentar menghadapi sikap
GAPKI ini. Justru Pemda bersikap tegas. Karena yang diperjuangkan adalah
rakyatnya. " Salah satu fungsi pemerintah adalah melindungi dan
menyejahterakan rakyat," jelasnya.

Bagaimana jika investor perkebunan lari, menurut Satriadi hal itu tidak
perlu ditakutkan. Sebab investor yang baik adalah yang tak hanya memikirkan
keuntungan semata, tapi peduli dengan pembangunan di daerah dan mau ikut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.

"Rekomendasi ini juga pandangan saya, merupakan test case bagi
pengusaha besar perkebunan. Apakah betul gembor-gembor yang mereka sampaikan
selama ini ingin membantu membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, atau hanya sekedar mencari untung saja. Disini akan ketahuan,"
ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rakor Perkebunan tingkat Provinsi
menghasilkan sejumlah poin. Namun sayangnya hasil rekomendasi itu belum
ditandatangani oleh GAPKI. Penyebabnya ada poin yang masih belum disetujui
pengusaha. Yakni terkait dengan realokasi areal konsensi PB yang belum
memiliki HGU minimal 20 persen untuk kebun rakyat/plasma.

LARANG JUAL BELI PLASMA

Pada kesempatan itu, Satriadi juga mendukung hasil rakor yang meminta
pemko dan pemkab menginventarisir jual beli kebun plasma dan tidak
membolehkan atau melarang jual beli kebun plasma di waktu yang akan datang
dan apabila dimungkinkan lahan yang telah diperjualbelikan dapat dibatalkan.

Seharusnya tak hanya sekedar rekomendasi, tapi akan lebih baik lagi
jika larangan jual beli kebun plasma ini oleh perusahaan atau pejabat di
perusahaan itu dituangkan dalam keputusan bupati atau gubernur. Bahkan kalau
perlu dimasukan dalam klausul perizinan yang dikeluarkan oleh kepala daerah,
baik bupati atau gubernur. Sehingga keputusan itu menjadi berkekuatan hukum.

Memang menurut temuan Satriadi di lapangan, bahwa sebagian kebun plasma
milik masyarakat ada yang dijual, baik ke perkebunan atau para
pejabat-pejabat di perkebunan. Jangan heran jika menemukan ada kebun plasma
justru dimiliki oleh para manajer perkebunan atau pejabat lainya.

Hal ini terjadi karena tidak jelasnya pola plasma yang dikembangkan
selama ini. Plasma yang dikembangkan belum mampu membuat kehidupan petani
menjadi lebih baik. " Kami pernah melakukan wawancara dengan petani plasma.
Ternyata penghasilan perbulan yang diterima petani antara Rp 150 ribu sampai
Rp 200 ribu, setelah dipotong berbagai kewajibannya, " ujar Satriadi.

Dengan penghasilan seperti, mana bisa membuat petani plasma menjadi
lebih baik hidupnya. Akhirnya sebagian menjadi buruh di kebun untuk menambah
penghasilan. Petani yang tak tahanpun langsung menjual kebun itu. (sma)

============ ========= ========= ========= ========= ==
Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah
Jl. Cik Ditiro No. 16 Palangka Raya - Kalimantan Tengah 73112
Telp/Fax ; 0536-3226437 / 3238382
Email ; kalteng@walhi. or.id

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !