Senin, 12 Mei 2008

Perluasan Lahan Kebun Sawit Dibatasi

Sumber Daya Alam
Perluasan Lahan Kebun Sawit Dibatasi

Selasa, 13 Mei 2008 | 00:29 WIB
Jakarta, Kompas - Perluasan kebun kelapa sawit, yang disorot organisasi
lingkungan internasional karena dampak sosial dan lingkungannya, dibatasi
dengan memanfaatkan lahan telantar. Meski demikian, beberapa kasus
pembukaan hutan untuk kebun baru atas izin pemerintah daerah terungkap di
lapangan, seperti laporan Greenpeace Asia Tenggara di kawasan Riau.

”Dulu mungkin ada, tetapi sekarang tidak masuk hutan lagi. Hanya
dikembangkan di luar kawasan hutan,” kata Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Didiek Hadjar Goenadi di
sela-sela acara Seminar Perubahan Iklim, Pertanian, dan Perdagangan, yang
diselenggarakan Dewan Kebijakan Perdagangan Pangan dan Pertanian
Internasional (IPC) dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR)
di Bogor, Senin (12/5).

Di tengah dialog perubahan iklim global, perkebunan kelapa sawit disorot
karena melibatkan pembukaan hutan besar-besaran yang berakibat pelepasan
karbon dioksida, unsur utama pembentuk gas rumah kaca.

Tingginya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di pasar dunia dinilai
berperan pada pembukaan hutan. ”Para pendatang baru mungkin lupa dengan
ketentuan itu,” kata Didiek. Sebagian pendatang baru merupakan anggota
Gapki (total anggotanya 267 perusahaan). Namun, Gapki tak bisa memberikan
sanksi. Alasannya, prinsip produksi kelapa sawit berkelanjutan, seperti
ketentuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang belum lama
disepakati. ”Kami terus menyosialisasikan agar anggota mematuhi prinsip
RSPO,” katanya.

Data terakhir, dari luas kebun kelapa sawit 6,2 juta hektar (ha), 3,5 juta
ha di antaranya dikuasai anggota Gapki. Total produksi CPO, 17 juta ton.

Menurut Didiek, pembukaan lahan baru kelapa sawit diarahkan pada lahan
telantar bekas HPH, total luas sekitar 7 juta ha.

Sejumlah pembicara kemarin menyatakan, tingginya permintaan pangan dan
energi mengancam keutuhan hutan karena butuh lahan baru. Solusi ilmu
pengetahuan amat diharapkan.

Robert Thompson dari Agricultural Policy University of Illinois at
Urbana-Champaign menyatakan, pemerintah dan swasta harus bahu-membahu
mengembangkan penelitian, seperti pertanian adaptif, di mana jenis tanaman
pangan dapat tumbuh di lahan tertentu, seperti kedelai di padang rumput
Brasil. Menurut dia, pada masa depan dibutuhkan produksi pangan dengan
produksi berlipat-lipat dari lahan sempit dan konsumsi air minim. (GSA)

http://www.kompas. com/kompascetak. php/read/ xml/2008/ 05/13/00290674/ perluasan. lahan.kebun. sawit.dibatasi

Tidak ada komentar:

Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !