Kamis, 08 Oktober 2009

Segera Periksa Dirut PT BAY

http://tribunpekanbaru.com/read/artikel/9782/segera-periksa-dirut-pt-bay
Kamis, 8 Oktober 2009 | 01:39 WIB
BLH Riau Selidiki Kebaran Lahan di Kuala Cenaku

RENGAT, TRIBUN-Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau, Senin (12/10) pekan depan, bakal melakukan pemeriksaan perdana terhadap Bambang, Direktur Utama PT Bertuah Aneka Yasa (BAY).Pemeriksaan yang akan dilakukan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di areal kosesi milik perusahaan di Kecamatan Kuala Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, yang diduga merugikan negara hingga Rp 30 miliar.

Rencana pemeriksaan terhadap Dirut PT BAY ini diungkapkan Kepala BLH Inhu, Zulfikri SH yang mengaku telah mengirimkan surat pemanggilan. "Pemeriksaan itu guna memperoleh keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik, kita minta yang bersangkutan hadir memenuhi panggilan penyidik," tegas Zulkifli, Rabu (7/10), saat ditemui Tribun di Masjid Raya Rengat.

Zulfikri menegaskan, menindak lanjuti penyidikan kasus ini, BLH Inhu dan BLH Riau telah memanggil para saksi dan pelapor. Terdiri dari unsur Kepala Desa Kuala Cenaku dan Desa Kuala Mulia berikut sekretaris desa dan Ketua BPD setempat.Selain itu, BLH juga sudah memanggil penanggung jawab lapangan PT BAY. Di antaranya Hermanto SH, Yong Meiyer, dan Ir Monipol Ginting MSi.

Pemanggilan terhadap ketiganya dilakukan penyidik Lingkungan Hidup di Pekanbaru. Bagaimana jika Dirut PT BAY itu mangkir? "Kita minta yang bersangkutan kooperatif, dan memenuhi panggilan penyidik. Jika tidak kita lakukan upaya lain sesuai prosedur hukum yang ada," tegas Zulfikri. Bahkan penyidik LH saat ini sudah mengantongi data lengkap tentang kasus kebakaran hutan dan lahan di areal PT BAY di Kecamatan Kuala Cenaku yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh perusahaan.

Data itu juga diperkuat sejumlah sampel yang diambil oleh saksi ahli dari KLH, serta telah dilakukan uji laboratorium. Sebagian sampel itu di antaranya, ranting sisa kebakaran, contoh tanah sampai kelapisan terbawahnya, hingga hasil olah TKP oleh Departemen Lingkungan Hidup. Seperti diketahui, kebakaran lahan di areal konsesi PT BAY, Kecamatan Kuala Cenaku terjadi Juli hingga Agustus 2009. Kebakaran lahan itu telah menyebabkan kabut asap disertai hujan abu di Kecamatan Kuala Cenaku dan Kecamatan Rengat.

Kebakaran lahan di areal konsesi PT BAY itu selalu saja terjadi saat musim kemarau terjadi. Namun sebelumnya, upaya hukum yang ditempuh pemerintah dengan melakukan penyelesaian dil uar pengadilan. PT BAY waktu itu diharuskan membayar ganti rugi akibat kebakaran terjadi. Tetapi untuk kebakaran lahan kali ini, BLH bertekad akan melakukan penyelesaian dengan menempuh jalur hukum. Langkah itu dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap perusahaan tersebut. (rgt)

Rabu, 20 Mei 2009

Gapki dan Unri Bakal Join Bangun Kebun Kelapa Sawit di Kampus

Riau Terkini
Selasa, 19 Mei 2009 16:02

17 Juni nanti, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Universitas
Riau akan melakukan penandatanganan MoU pembangunan kebun sawit percontohan
seluas 4 hektar di kampus UNRI.

Riauterkini- PEKANBARU- Ketua Gapki Riau, Wisnu Oriza Suharto kepada Riauterkini
Selasa (19/5/09) mengatakan bahwa pertengahan bulan Juni mendatang, Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau akan melaksanakan penandatanganan
MoU pembangunan kebun sawit percontohan di kawasan Unri seluas 4 hektar. Kebun
sawit tersebut nantinya akan digunakan mahasiswa untuk mengetahui pola perawatan
dan pemeliharaan sawit.

Katanya, pembangunan kebun sawit percontohan tersebut sebenarnya adalah langkah
Gapki agar UNRI memiliki jurusan industry sawit di Fakultas Pertanian mereka.
Minimal ada mata kuliah mengenai industry sawit.

“Riau memiliki ribuan bahkan jutaan kebun sawit. Namun tidak satupun manager
kebun sawit yang berasal dari UNRI. Ke depan dengan adanya MoU tersebut, UNRI
memiliki jurusan industry sawit di Fakultas Pertanian mereka. Sehingga ke depan,
posisi strategis di perusahaan sawit yang beroperasi di Riau dipegang oleh
lulusan UNRI,” katanya.

Workshop RSPO

Selain pelaksanaan MoU Gapki-UNRI, kata Wisnu tanggal 17 Juni nanti juga akan
digelar workshop mengenai Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) skala nasional.
Seluruh pengusaha sawit yang menjadi anggota Gapki di Indonesia dipastikan akan
datang.

Katanya, workshop tentang RSPO itu akan dibahas mengenai system dan tatakerja
RSPO. Agendanya adalah pengenalan dan pemahaman mengenai RSPO kepada seluruh
pengusaha sawit anggota Gapki se-Indonesia.

“Pelaksanaan workshop dilaksanakan selama 3 hari. Hari pertama penandatanganan
MoU Gapki-UNRI dan pelaksanaan workshop RSPO. Hari kedua kunjungan peserta
workshop ke PT Musim Mas yang sudah menerima sertifikat RSPO. Hari ketiga
penanaman perdana kebun sawit percontohan di UNRI,” katanya. ***

Sabtu, 21 Maret 2009

Revisi Tata Ruang Riau Terhadang Kepentingan Kabupaten

Rabu, 18 Maret 2009 16:36
Tata Ruang Provinsi Riau sudah mendesak direvisi, namun prosesnya berjalan lambat, karena terhadang kepentingan kabupaten dan kota.

Riauterkini-PEKANBARU-Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)Riau yang sudah berlangsung sejak 2001 lalu hingga kini tak kunjung usai. Pasalnya begitu banyak kepentingan kabupaten/kota di Riau terhadap peruntukan hutan di wilayahnya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf di Pekanbaru, Rabu, (18/3) kepada wartawan mengatakan masih sangat sulit untuk memaduserasikan antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dimiliki Pemerintah Pusat dengan RTRWP Riau. Oleh karena itu Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur termasuk Provinsi yang hingga belum memiliki RTRWP. "Banyak daerah kabupaten/kota yang tidak menginginkan kawasan hutan ada di wilayah mereka. Ini yang membuat sulit sekali memaduserasikan antara TGHK dan RTRWP," kata Zulkifli.

Ia mencontohkan Kabupaten Kuantan Singingi yang menolak kawasan hutan lindung berada di daerahnya. Dan meminta kawasan hutan masuk ke daerah tetangganya Kabupaten Indragiri Hulu. Begitupun dengan Kabupaten Kampar yang meminta kawasan hutan lindung dan konservasi dimasukkan ke Kabupaten Pelalawan atau Rokan Hulu.

Ini semua terjadi karena keberadaan hutan lindung yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat tersebut semakin memperkecil kemampuan daerah memperluas peruntukan wilayahnya. "Misalnya lagi Kota Dumai yang hanya 30% dari luas wilayahnya dapat dipergunakan untuk pengembangan. Selebihnya sudah merupakan wilayah konsesi perusahaan perkebunan serta peruntukan hutan lindung dan konservasi," jelas Zulkfili.

Tapi masalah ini tidak akan pernah selesai jika kabupaten/kota mempertahankan egonya masing-masing dalam mengelola wilayahnya. Karena harus dipahami daerahlah yang harus menyesuaikan pengembangan kawasannya dengan TGHK.

"TGHK itu ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan sejak 1986. Sedangkan RTRWP Riau ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 1994. Dan kabupaten sendiri yang harus menyesuaikan peruntukan pengembangan kawasannya agar tidak tumpang tindih dengan TGHK," jelas Zulkifli.

Kawasan hutan baik yang berstatus lindung, konservasi, taman nasional, ataupun suaka margasatwa seperti yang tercantum dalam peta TGHK tidak bisa dikutak kutik atau dialihfungsikan oleh kabupaten/kota. Pengalihan status hanya bisa dilakukan atas persetujuan DPR apakah status kawasan hutan tersebut bisa dilepaskan menjadi kawasan non hutan. "Semuanya harus sesuai prosedur bila daerah ingin kawasan hutan yang ada dilepaskan untuk pengembangan wilayahnya," jelasnya.




Berita lainnya..........

55 Warga Riau dan 15 Ekor Harimau Tewas

Rabu, 18 Maret 2009 16:54
12 Tahun Berkonflik,

Konflik antara warga Riau dan harimau sudah berlangsung sangat panjang. Selama 12 tahun tercatat 55 warga Riau meninggal dunia. Sementara harimau yang terbunuh 15 ekor.

Riauterkini-PEKANBARU- Kurun waktu 12 tahun terakhir ini (1997-2009), di Riau, 55 orang dan 15 ekor harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) telah terbunuh akibat konflik. Menurut LSM yang melakukan investigasi kejahatan kehutanan dan konflik di provinsi bagian tengah Sumatera, Eyes on the Forest, tercatat 17 harimau telah ditangkap dan dipindahkan dari hutan habitatnya.

Senepis, Kerumutan, Semenanjung Kampar dan hutan gambut lainnya di Riau merupakan habitat penting bagi harimau Sumatera, juga merupakan cadangan karbon global. Dengan adanya lahan gambut yang sangat dalam dan kaya karbon, maka hanya dengan menebang pohonnya atau merusak lahan tanahnya saja akan menimbulkan emisi karbon yang cukup signifikan dan berdampak bagi perubahan iklim global.

Data EoF mengatakan bahwa hilangnya habitat hutan alam di Riau terjadi sejak 1982 hingga 2007. 24 persennya telah dibuka atau digantikan oleh hutan tanaman kayu pulp dan 29 persen lagi dibuka atau digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.

“Dengan hilangnya habitat hutan, harimau tak memiliki tempat untuk mencari makan dan bersembunyi. Dalam sebulan terakhir saja, empat ekor harimau mati terbunuh di Riau. Saat ini terdapat kurang dari 400 ekor harimau Sumatera saja yang hidup di alam dan itu artinya setiap harimau yang mati merupakan kehilangan yang sangat signifikan bagi bertahannya populasi satwa langka tersebut,” kata Direktur Program Kehutanan dari WWF-Indonesia, Ian Kosasih kepada Riauterkini Rabu (18/3/09).

Koordinator Jikalahari, Susanto Kurniawan mengatakan bahwa sedikitnya, 147 dari 242 kasus atau 60% dari seluruh konflik Harimau Sumatera-Manusia di Propinsi Riau terjadi di lansekap Senepis. Yaitu wilayah ekspansi dan penebangan hutan alam di lima konsesi APP khususnya sejak 1999. Uniknya, tiga di antaranya belum memiliki izin definitif dari Departemen Kehutanan.

“Lucunya, APP justru membuat pernyataan publik jika mereka sedang menginisiasi konservasi harimau di kawasan Senepis. Kenyataannya mereka justru membahayakan keamanan masyarakat setempat dan mendorong harimau semakin dekat menuju kepunahan. APP menghancurkan hutan-hutan dan satwa liar,” tandasnya. ***(H-we)

Membiarkan Masyarakat Mati Diinjak Gajah



Minggu, 15 Maret 2009 , 09:19:00

GAJAH MATI DIRACUN: Kawanan gajah ini mati diracun oleh manusia.(ISTIMEWA)
Masyarakat di Kecamatan Mandau dan Pinggir, Kabupaten Bengkalis harus bersiap-siap dan bersiaga penuh agar tidak mati diinjak gajah seperti almarhum Ronald Silalahi (Juli 2008) dan Jalinus (Maret 2009). Pasalnya sampai saat ini, masing-masing pihak masih saling tunjuk pihak mana yang harus mengakhiri tragedi kematian diinjak gajah tersebut.

Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru

Kawasan barat Kabupaten Bengkalis, tepatnya di Kecamatan Mandau dan kecamatan pemekarannya yakni Kecamatan Pinggir, telah lama diketahui sebagai habitat utama gajah. Itulah sebabnya pada tahun 1980-an di kawasan itu ditetapkan dua kawasan konservasi untuk gajah oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pertama, Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, dikukuhkan pada tahun 1986 dengan luas 18 ribu hektare. Kedua, Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga Duri dikukuhkan tahun 1992 dengan luas 5.873 hektare.

Entah bagaimana ceritanya kemudian, kedua kawasan konservasi itu kini hanya tinggal nama. Data WWF menyebutkan SM Balai Raja dari 18 ribu hektare kini hanya tinggal 132 hektare. Data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) menyatakan Pemerintah Bengkalis telah membangun kantor camat, kantor lurah, dan berbagai fasilitas umum lainnya serta mengizinkan perkebunan sawit di atas areal SM Balai Raja tersebut. Sementara PLG Sebanga Duri terpaksa hengkang dari tempat tersebut setelah dirambah dan akhirnya dibakar masyarakat. Penghuni PLG itu saat ini menumpang di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) dan kerap dikenal dengan nama PLG Minas.

Sejak kedua kawasan konservasi gajah di tempat itu dimusnakan secara sengaja atau pun tidak sengaja oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis maupun masyarakatnya, gajah-gajah di tempat tersebut mulai sering bergentayangan di kedua kecamatan tersebut. Kadang hanya sekadar memakan tanaman pertanian warga, namun tak jarang juga mengobrak-abrik rumah warga. Bahkan beberapa tahun terakhir mulai menginjak-injak tubuh manusia hingga meninggal, seperti nasib Ronald dan Jalinus. Bahkan korban terakhir jasad Jalinus sempat dilumat dan organ tubuhnya tak lagi berbentuk.

Tiap kali konflik di kawasan ini terjadi, saling tunjuk siapa yang harus menanggulangi konflik tersebut. Ada yang menunjuk BBKSDA. Misalnya Anggota DPRD Bengkalis H Arwan Mahidin saat kematian Jalinus mengungkapkan Dinas Kehutanan dan pihak BBKSDA Riau tidak bisa lagi tutup mata dengan persoalan itu. “BKSDA harus membuka pos di Balai Makam atau tempat lain yang menjadi sasaran gajah. Mereka pun hendaknya menggelar patroli rutin. Kita juga mempertanyakan kasus lahan PLG Sialang Rimbun (Sebanga Duri),” tegasnya.

Selanjutnya Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bengkalis Darmawi. Dalam penanggulangan konflik Dinas Kehutanan akan bekerja sama dengan BKSDA Riau dalam menanggulangi hal ini. “Pasalnya, penanganan gajah itu adalah wewenang dan bidang tugas BBKSDA,” ujarnya.

Harapan yang sama juga dikemukakan oleh Gubernur Riau HM Rusli Zainal. ‘’Harus ada program prioritas untuk mengatasinya. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, bagaimana melakukan pemetaan keberadaan gajah yang ada di Riau dibandingkan dengan ketersediaan lahan yang ada. Kedua, mencari alternatif solusi dan ini harus dikoordinasikan secara intensif dengan BKSDA. BKSDA harus menjadi leader untuk dapat membuat program-program guna mengatasi konflik yang terjadi, akan tetapi upaya ini harus dilakukan secara berkelanjutan,’’ ungkap gubernur.

Sementara Rachman Sidik, Kepala BBKSDA menilai konflik yang terjadi itu karena Pemerintah Kabupaten Bengkalis lah yang telah menghilangkan habitat gajah. “Konflik yang terjadi karena habitat mereka kita ganggu. Bayangkan di Balai Raja itu sudah jelas sebagai kawasan Suaka Margasatwa, tapi perusahaan berdiri di sana, kantor camat ada disana, padahal sampai saat ini belum ada penglepasan kawasan itu dijadikan sebagai kawasan perkebunan atau pemukiman,’’ tutur Rachman, awal pekan ini.

Rahman mengaku meskipun tidak ingin mempersalahkan siapapun, namun tetap menegaskan bahwa lahan di kawasan konservasi gajah tersebut masih status kawasan konservasi. “18.000 hektare lahan di sana, termasuk yang sekarang didirikan pabrik kelapa sawit, perkebunan, pemukiman warga, perkantoran, semuanya merupakan kawasan hutan habitatnya gajah tersebut dan setahu saya, kawasan tersebut belum dilakukan pelepasan,” ujarnya.

Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Nur Hidayat, Direktur Konservasi Kawasan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Menurutnya daerah harus bertanggung jawab atas perubahan fungsi kawasan tersebut. Dia akan meminta BBKSDA untuk memproses hal tersebut. “Untuk merubah fungsi kawasan harus melibatkan tim terpadu. Harus dilakukan check lapangan. Apakah perubahan fungsi legal atau tidak,” ujarnya.

Sementara Wakil Bupati (Wabup) Bengkalis Normansyah Abdul Wahab Rabu (11/3) di Bengkalis, membantah persepsi amuk gajah ini akibat pembangunan pusat perkantoran Camat Pinggir, Kantor Desa Pinggir di simpang Balai Makam sehingga terusiknya habitat kawanan gajah liar tersebut.

“Kita ingin persoalan amuk gajah ini segera selesai. Untuk itu, kita sudah berkoordinasi dengan BBKSDA Provinsi Riau. Soal bagaimana teknis penanganan terhadap kawanan gajah liar tersebut BBKSDA lebih berkompeten. Mereka memiliki peralatan dan tim teknis penjinak, jadi lebih tahu. Pemkab Bengkalis tetap mendukung penuh upaya tersebut. Hanya saja kalau amuk gajah ini akibat rusaknya habitat kawasan gajah karena pembangunan kantor camat, kantor lurah dan harus dipindah itu tidak mungkin,” ujar Wabup.

Sebenarnya dalam catatan Riau Pos statement saling tunjuk siapa yang bertanggungjawab dan berakhir tanpa solusi itu sudah hal berulang dari tahun ke tahun. Seperti tengah membiarkan masyarakat mati diinjak gajah.(ndi/bud/gem/rus/sda)

Kamis, 05 Maret 2009

Temuan terbaru atas operasi Duta Palma
di propinsi Riau
Greenpeace baru saja merampungkan dua kunjungan investigatif ke areal rencana
konsesi perkebunan kelapa sawit dua anak perusahaan Duta Palma (PT. Bertuah
Aneka Yasa and PT. Palma Satu) in kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Di kunjungan pertama pada tanggal 8 Februari 2008, para investigator Greenpeace
menemukan bahwa PT. Bertuah Aneka Yasa (BAY) telah melanjutkan pembukaan
lahan hutan yang masih tersisa. Pembukaan lahan berlangsung di areal rencana
konsesi PT. Palma Satu. Menurut perkerja di tempat yang diupah oleh Duta Palma,
pohon-pohon di tebang terlebih dahulu sebelum alat berat didatangkan untuk
membersihkan areal tersebut. Setidaknya ada 4 kelompok penebang yang bekerja di
area tersebut, menggunakan setidaknya 8 gergaji mesin. Setiap kelompok penebang
ditugaskan untuk mengerjakan sektor dalam hutan sebesar 300 X 300 meter persegi
(9 hektar). Tahun lalu telah dibangun kanal guna menjadikan sektor-sektor ini siap
dibalak.
Ketika tim Greenpeace meninggalkan wilayah tersebut tampak api yang disulut
dengan sengaja serta menimbulkan kebakaran di areal PT. BAY, namun para
pekerja perusahaan tidak melakukan upaya pemadaman. Untung saja hujan dengan
segera memadamkan kebakaran sebelum api menjalar dan menimbulkan kerusakan
lebih besar.
Sebulan setelah kunjungan pertama, pada tanggal 19 Maret, tim investigasi
Greenpeace mengunjungi kembali areal PT. BAY dan PT. Palma Satu. Tim
Greenpeace menyaksikan para penebang yang diupah oleh perusahaan kembali
membuka lahan hutan yang tersisa. Kami memetakan lokasi operasi pembukaan
lahan pada posisi koordinat 0°29’10.7” LS dan 102°37’54.1” BT sampai dengan
0°31’06.1” LS dan 102°38’03.3” BT. Kami juga merekam lokasi tiga titik penebangan
pada koordinat 0°31’04.3” LS dan 102°38’13.9” BT.
Baik PT. BAY maupun PT. Palma Satu belum mengantongi hak guna usaha (HGU).
Sebelum memperoleh HGU, sebuah perusahaan perkebunan harus terlebih dahulu
melakukan permohonan ijin usaha perkebunan (IUP) yang diberikan oleh Bupati.
Dalam proses pengurusan IUP, termasuk di dalamnya dibutuhkan analisa dampak
lingkungan (AMDAL) dan perjanjian kompensasi dengan komunitas yang terkena
dampak atas perkebunan tersebut. Namun ternyata PT. BAY telah membuka hutan
serta mengeringkan gambut sedangkan PT. Palma Satu sedang memulai kegiatan
penebangan hutan sebelum seluruh proses perijinan tersebut dilalui.


Greenpeace Southeast Asia - Indonesia Web: http://www.greenpeace.or.id
Jalan Cimandiri No. 24, Cikini E-mail: info.id@greenpeace.org
Jakarta Pusat 10330, Fax +62 (021) 3102174
INDONESIA
Tel: +62 (021) 3101873
- 2 –

Demo Project REDD Di Indonesia

REJECT WWF FROM RIAU
REJECT WWF FROM JIKALAHARI

1. Ulu Masen project in Aceh; 750,000 ha, facilitated by Flora Fauna
International (FFI)
2. Kampar project in Riau; 400,000 ha, Leaf Carbon Ltd. and APRIL/RAPP
3. Kuala Kampar project in Riau; 700,000 ha, WWF
4. Tesso Nilo in Riau, 50,000 ha, WWF
5. Harapan Rainforest in Muara Jambi-Jambi Province; 101,000 ha; Burung
Indonesia, RSPB, Birdlife
6. Berbak in Jambi; 250,000 ha; ERM, ZSL, Berbak National Park
7. Kapuas Hulu and Ketapang in West Kalimantan; 157,000 ha; FFI, PT.
Mcquirie Capital
8. Central Kalimantan; 50,000 ha, Infinite Earth
9. KFCP in Cetral Kalimantan; 340,000 ha; Govt of Australia
10. Katingan in Central Kalimantan; ...........ha; Starling Resources
11. Mawas PCAP in Central Kalimantan; 364,000 ha; BOS, Govt of Netherland,
Shell Canada
12. Sebangau National Park in Cetral Kalimantan; 50,000 ha; WWF, BOS,
Wetlands Intl, Care Intl
13. Malinau in East Kalimantan; Global Eco Rescue, INHUTANI II, District
Govt of Malinau
14. Berau in East Kalimantan; 971,245 ha; TNC, ICRAF, Sekala, Mulawarman
Universitiy, WInrock Intl, Univ of Queensland
15. Heart of Borneo Kalimantan; 22 million ha; WWF
16.. Poigar in North Sulawesi; 34,989 ha; Green Synergies
17. Mamuju in West Sulawesi; 30,000 ha; Keep the Habitat, Inhutani I
18. Mimika and Memberamo in Papua; 265,000 ha; New Forest Asset Mgt, PT.
Emerald Planet
19. Jayapura in Papua; 217,634 ha; WWF
20. Merauke-Mappi- Asmat in Papua; ......ha; WWF

Minggu, 04 Januari 2009

*BOYCOTT ISRAEL CAMPAIGN*

*BRANDS & LABELS TO BOYCOTT*

<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- danone.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- disney.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- marks-and- spencer.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- kimberly- clark.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- l-oreal.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- selfridges. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- estee-lauder. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nestle.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- delta-galil. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- johnson-and- johnson.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- revlon.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- kimberly- clark.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- kimberly- clark.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- lewis-trust. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- kimberly- clark.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- limited.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- home-depot. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- coca-cola. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- aol.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- aol.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- aol.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- aol.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- nokia.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- ibm.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- news-corporation .html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- intel.html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- sara-lee. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- starbucks. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- mcdonalds. html>
<http://www.inminds. co.uk/boycott- timberland. html>

*URL: http://www.inminds. com/boycott- brands.html*

Kamis, 25 Desember 2008

Aerial bombardment of peasants in Sumatran village

Press releases by Watch Indonesia! and WALHI (Friends of the Earth
Indonesia)


Aerial bombardment of peasants in Sumatran village

Berlin, 23rd December 2008:

On Thursday, 18th December, hundreds of police and paramilitaries
attacked the Sumatran village Suluk Bongkal in Riau Province with tear
gas and guns. A helicopter dropped incendiary devices on the village,
with eye witnesses alleging that napalm was used. Hundreds of houses
immediately went up in flames. Two young children were killed and many
people were injured. Most of the villagers have fled into the forest.
Others have been arrested. Two days later, a helicopter flew at low
height over the tents of homeless villagers and bombarded them with stones.

The news sounded so unbelievable that Watch Indonesia! was initially
hesitant to disseminate them, however the information has now been
confirmed, except that the type of bombs dropped still has to be
verified. The environmental organisation WALHI (Friends of the Earth
Indonesia) has identified the attack on poor villagers as the result of
struggles over raw materials and land, which are so common in Indonesia.
In this case, the conflict was over paper and in particular a pulp and
paper plantation by PT Arara Abadi, a subsidiary of Asia Pulp and Paper
(APP) which, in turn is a subsidiary of the Indonesian company Sinar
Mas. PT Arara Abadi/APP used the police and hired paramilitaries in
order to evict villagers with pure force. The Indonesian Human Rights
Commission has now taken on the case.

Watch Indonesia! protests against the attack on Suluk Bongkal and the
extremely brutal violence against the civilian population. We demand an
immediate investigation of this new human rights abuse, compensation for
the local population and a guarantee of their safety and rights, as well
as punishment of those responsible for the violence. We demand that
European governments and companies examine their links to companies such
as Sinar Mas which are responsible for human rights abuses. Europe’s
excessive consumption bears some of the responsibility for the growing
use of violence in land conflicts over paper, palm oil, gold and other
raw materials. Sumatra is not the only place where people are being
violently evicted for mass production of paper.

Contact: Marianne Klute, watchindonesia@snafu.de, klute@snafu.de

Rabu, 12 November 2008

Terkait pemeriksaan Ketua PN Dumai

Riau Mandiri, Sabtu ,06 Oktober 2007,
PH Tiensu Minta MA Transparan
DUMAI–Saut Irianto Rajagukguk,SH dari law firm Saut Raja & Partners Penasehat Hukum Tiensu terdakwa penggelapan 450 ton CPO milik PT Duta Palma Nusantara (DPN), meminta agar tim Mahkamah Agung yang melakukan pemeriksaan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Dumai Ali Rustam, terkait indikasi mafia peradilan untuk mengekspos hasil pemeriksaan mereka secara transparan ke publik.

Hal ini menurut Saut yang dihubungi Jumat (5/10) karena persoalan tersebut sudah menjadi perhatian masyarakat luas. ”Publik berhak mengetahui hasil pemeriksaan tersebut, apakah benar terjadi mafia peradilan atau tidak sebagaimana yang kita laporkan ke MA," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, atas laporan PH terdakwa Tiensu, tim MA yang dipimpin Hakim Tinggi Inspektur Pengawasan Hirman P dengan tiga anggota diantaranya Kepala bagian penindakan dan pengawasan hakim, Sentot dan staf Wahyu SH Jumat (21/9) lalu melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang mengadili perkara Tiensu tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti hasil pemeriksaan tersebut.(fai)


Kelompok advokasi Riau

Kelompok advokasi Riau
Rebut Alat-alat Produksi !