Kami anak-anak Ibu Pertiwi,
adalah pewaris yang syah negeri ini.
Negeri yang dalam hikayat lama
disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Negeri yang dalam dongeng anak-anak
dikisahkan gemah ripah loh jinawi.
Subur, makmur dan sentosa
Karena diatas negeri ini,
hutan nan luas terhampar, berbagi jenis palawija
berebut tumbuh saling menyentuh.
Di bawahnya, Tuhan menyimpan Minyak, gas, timah,
tembaga, bahkan emas dan uranium serta platina.
Suatu saat nanti, bila kami sudah dewasa,
sudah memiliki pengetahuan, akal budi dan tatakrama,
bisa mengambilnya sedikit demi sedikit.
Ya, sedikit demi sedikit, supaya anak-anak kami,
cucu-cucu kami, buyut-buyut kami,
bisa juga menikmati karunia Illahi ini.
Memanfaatkannya demi kesejahteraan semua.
Tapi selama ratusan tahun, kami, bangsa Indonesia,
tidak pernah sungguh-sungguh mencicipi
nikmat persembahan Tuhan itu.
Bukan karena kami tak kunjung dewasa,
bukan juga karena kami tak punya pengetahuan
untuk menggali dan memroses karunia Illahi ini.
Tapi karena mereka, para penguasa negara,
yang kami percaya untuk menjaga dan mengelola kekayaan itu,
hanyut dan dilambungkan gelombang birahi kekuasaan.
Mereka malah berkomplot dengan tuan-tuan dari negeri asing,
merompak kekayaan itu, sehingga alpa membaginya
kepada kami,
Soekarno – Hatta memang sudah memprokalamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 63 tahun lalu.
Tapi hanyalah awal lembaran sejarah Republik Indonesia,
dan bukan pertanda berkhirnya kolonialisme,
bukan pula berakhirnya penguasa sumber daya alam kita
oleh bangsa asing.
Padahal sebagai bangsa yang merdeka
kita dibekali Undang-Undang Dasar 1945
yang didalamnya ada pasal yanmg bilang :
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara"
dibawahnya ada pasal lain, yang kalau dibaca berbunyi :
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Tapi kenapa ayat-ayat Konstitusi itu hingga negara umur 63, tak kunjung terlaksana?
Apakah karena di pasal itu tidak dijelaskan "negara mana" sehingga "kemakmuran rakyat" pun jadi tak jelas alamatnya?
Atau jangan-jangan mereka, para penyelenggara negara itu, tumpul budaya sampai-sampai tak paham soal bahasa.
Sekarang, setelah 100 tahun Boedi Utomo memaklumatkan Kebangkitan Nasional, 80 tahun setelah Pemuda Indonesia bersumpah yang satu (satu nusa, satu bangsa, satu bahasa).
63 tahun setelah merah putih resmi dikibarkan di antero Nusantara dan reformasi memasuki umur 10,
kami, mayoritas bangsa Indonesia, tetap miskin terpuruk :
miskin
karena distrukturkan dalam peta kemiskinan
bodoh
karena rumah-rumah pendidikan sulit diakses,
penyakitan
karena untuk ongkos sehat mahal.
Kini tak sedkit saudara kami
yang lebih memilih Jalan Hirakiri
justru setelah membunuh anak-anaknya.
Mungkin agar anak-anak mereka
tak lama-lama hidup sengsara di Negeri Surga.
O, anak-anak yang malang,
negeri Tuhan yang anugerahkan kepada kita,
memang didesain seperti surga,
untuk kita nikmati dengan rasa syukur.
Tapi mereka yang telah kita beri kepercayaan,
mengubahnya menjadi surga
hanya untuk mereka sendiri.
Oleh sebab itu, pada hari ini, ditempat ini,
dengan Rahmat Tuhan Maha Bijaksana,
sambil mengepalkan tangan dan meninju langit,
kami pekikkan kemarahan kami,
kami nyatakan pada dunia :
"Kami sudah bersatu padu untuk menyelamatkan
kekayaan negara kami, dengan sepenuh kemampuan
yang kami miliki, sebagai amanat konstitusi,
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat :
Rakyat Indonesia..!"
Atas nama Deklarator :
Adhie M Massardi Marwan Batubara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar